Sabtu, 17 Maret 2018

MAKALAH DASAR KAIDAH DAN PRINSIP-PRINSIP NIAT AL-UMURU BI MAQASHIDIHA



HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR............................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang............................................................. 1
B.    Rumusan Masalah........................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Dasar Kaidah.............................................................. . 2
B.    Prinsip-Prinsip Niat...................................................... 5
1.     Substnsi................................................................ 5
2.     Status.................................................................... . 6
3.     Tempat................................................................. . 7
4.     Waktu................................................................... . 7
5.     Pembatal............................................................... . 8
6.     Syarat-syarat........................................................ . 10
7.     Tata cara melakukan niat..................................... . 12
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan................................................................... 13
B.    Saran........................................................................... . 14

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Qawaid fiqh (kaidah-kaidah fiqh) merupakan cara menetapkan hukum dari perbuatan mukallaf dengan objek kajiannya yaitu mukalllaf baik dalam konteks muamalah, qawaid berbeda dengan ushul fiqh karena ushul fiqh lebih kepada penggalian suatu hukum sehingga menghasilkan hukum (halal,haram,makruh,sunnah,mubah). Kaidah fiqh digunakan untuk memudahkan kita dalam mencari dasar atau landasan suatu kegiatan muamalah karena Al-Quran dan Hadits tidak menjelaskan semua kegiatan muamalah oleh karena itu, kita membutuhkan kaidah fiqh terutama jika persoalan yang terjadi tidak terdapat di dalam nash hukum dan ketetapannya maka bisa menggunakan kaidah fiqh. Salah satu alasan Qawaid Fiqh digunakan karena, sudah tidak banyak orang yang hafal Al-Quran dan hadits beserta maknanya maka,peran qawaid dibutuhkan sebagai landasan bermuamalah.
Qawaid Fiqh mempunyai 5 dasar kaidah umum antara lain kaidah “Al-Umuru bimaqashidiha” (segala perkara tergantung pada niatnya). Niat menjadi hal utama dalam setiap perbuatan kita, dengan niat kita akan terarah maksud dan tujuan perbuatan yang dilakukan maka, penting bagi kita mengetahui kaidah ini, agar kita mempunyai landasan dalam melakukan suatu hal baik sosial, ekonomi maupun ibadah. Banyak orang mengatakan niat terletah dalam hati maupun dengan diucapkan serta mempunyai fungsi yang penting diantaranya untuk membedakan ibadah dan kebiasaan. Oleh karena itu kita harus membedakan bagaimana bentuk niat dan penerapannya.

B.    RUMUSAN MASALAH
1.     Apakah dasar yang melandasi kaidah ‘al-umur bi al-maqashid?
2.     Bagaimana prinsip-prinsip niat (substansi, status, tempat, waktu, pembatal, syarat, dan tata cara melaksanakan niat?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    DASAR KAIDAH
1.     Al-Quran
a.      Mengenai keharusan melakukan niat dalam ibadah, Allah Swt. menyatakan dalam Al-Quran Surah Al-Bayyinah ayat 5:
وَمَاأُمِرُوْااِلَّالِيَعْبُدُوْاالله مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ
Artinya:
“Mereka (orang-orang kafir) tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah (beribadah) kepada Allah, seraya memurnikan ikhlas dalam beragama ibadah.”
Kata al-din dalam bahasa Arab, secara umum biasa diartikan sebagai agama. Namun dalam konteks ayat diatas, al-Qurthubi menafsirkan sebagai ibadah. Dengan penafsiran ini, beliau menjelaskan bahwa ikhlas yang termuat dalam kata mukhlisin, adalah perbuatan hati yang hanya dilakukan dalam rangka beribadah. Ikhlas sendiri adalah pekerjaan hati yang hanya bisa terwujud melalui perantara niat. Berniat merupakan hal yang wajib, seperti uang diwajibkannya ikhlas dalam beribadah. Keduanya laksana dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan.[1]
Dalam ayat ini terdapat rajutan yang sangat kuat antara ibadah, niat, ikhlas, dan pengesaan kepada Allah Swt. Bagaiman mungkin seseorang yang atheis, misalnya akan punya niat untuk beribadah. Paling banter ia hanya bertindak dengan orientasi materialisme (kebendaan) yang ada dalam benaknya. Sama sekali tidak ada dimensi ikhlas dalam hatinya. Jangankan ikhlas, niat yang seharusnya menjadi pijakan dan tolak ukur awal dalam berbuat, sama sekali tidak diindahkan olehnya. Ada jurang pemisah yang menganga lebar antara pribadi mukmin dan jiwa seorang atheis. Niat, ibadah, ikhlas, dan pengesaan kepada Yang Maha Kuasa adalah proses berkelanjutan yang selalu terikat satu sama lain, dan mampu menunjukan perbedaan jati diri pada kedua entitas itu.
Sedangkan ikhlas, sebuah fase paling akhir dan penting, adalah ketaatan yang sama sekali bukan karena alasan-alasan yang bersifat duniawi (material), melainkan semata-mata hanya untuk mengharap ridha Allah Swt. Dengan pendekatan diri pada Allahh Swt. Serang mukmin dengan sendirinya akan terbedakan dengan seseorang yang tak beragama. Namun dia tidak boleh berhenti dalam titik ibadah yang hampa. Ia harus melalui lagi tahap yang berat. Dalam beribadah, ia harus melakukannya tanpa ‘embel-embel’ apapun selain mencari ridho-Nya. Ikhlas akan sangat menentukan bernilai atau tidaknya satu konstruk ibadah, disamping akan berimplikasi pada kebaikan dunia dan akhirat. Pembahasan mengenai niat, ibadah, ikhlas, dan hal-hal yang bersinggungan dengannya, merupakan pesan terdalam  pada ayat diatas, sehingga dari sinilah terbangun kaidah al-umur bi maqashidiha.[2]
b.     Q.S Hud ayat 31
"...وَلَااَقُوْلِلَّذِيْنَ تَزْدَري أَعْيُنُكُمْ لَنْ يُؤْتِيَهَمُ اللهُ خَيْرًاۗأَللهُاَعْلَمُ بِمَافِيْ اَنْفُسِهِمْ اِنِّيْ اِذًا لَمِنَالظَّالِمِيْنَ۞
Artinya:
“Dan aku juga tidak mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatanmu: sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan kepada mereka”. Allah lebih mengetahui apa yang ada pada diri mereka. Sesunggungnya aku, begitu benar-benar termasuk orang-orang yang zalim”.
c.      Q.S Al-Baqarah ayat 225
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمُ۞
Artinya:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”.
d.     Q.S Al-Baqarah ayat 265

... الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّه...
Artinya:
“Orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah”[3]

2.     Al-Hadits
a.      Hadits Nabi Saw. yang menjadi pondasi terbangunnya kaidah ini adalah:
اِنَمَا لُ بِالنِّيَاتِ
Artinya:
”Keabsahan amal-amal tergantung pada niat”.

Pada tahapan awal pemahaman makna hadits ini, mungkin akan menimbulkan interpretasi bahwa ibadah tidak akan ada tanpa niat. Namun hadits ini tidak bisa dimaknai secara sepintas, lantaran sebuah pekerjaan tidak lantas menjadi “tiada” dengan tanpa adanya niat. Karena jika haits ini diterjemahkan seadanya, tanpa proses penafsiran lebih dalam, maka akan mempunyai arti ”sebuah perbuatan tidak akan ada dan wujud tanpa niat”. Padahal, tentu sangat banyak perbuatan yang bisa ”ada” tanpa melalui niat. Mengutip analisis Muhammad Yasin al-Fadani, maksud hadits diatas adalah penilaian terhadap predikat sebuah pekerjaan yang terkait erat dengan keberadaan atau eksistensinya, seperti sah atau sempurna. Dengan adanya penilaian ini, suatu keabsahan atau kesempurnaan pekerjaan sangat tergantung pada niat pelakunya. Inilah makna hadits yang benar menurut Syaikh Yasin.
Penelusuran secara semantik juga akan menguak kandungan terdalam hadits tersebut, sekaligus akan ditemukan beberapa elemen penting yang membuatnya layak untuk dijadikan bahan pijakan membangun kaidah “al-umuru bi maqashidiha” ini. Pada permulaan hadits itu terdapat huruf innama yang berfungsi sebagai media “pembatas” rangkaian kalimat sesudahnya (adat al-hashr) artinya , ketika kata al-a’mal bi al-niyyat didahului oleh kata innama, maka akan menimbulkan pengertian bahwa hanya dengan niatlah amal perbuatan seseorang akan layak diperhitungkan; dianggap sebagai amal ibadah, tidak dengan selainnya.[4]
b.     Imam Syihab dalam kitabnya “Musnad al-Syihab” dari Anas menggunakan redaksi:
نية المؤمن خيـرمن عمله
Artinya”
“Niat orang mukmin lebih baik daripada amal perbuatannya”  
B.    ­PRINSIP-PRINSIP NIAT
1.     Substansi
Niat secara etimologi adalah kesengajaan atau tujuan. Sedangkan niat dalam  pengertian syariat adalah ketetapan hati untuk melaksakan sesuatu. Sedangkan menurut istilah Fuqoha’ niat adalah kesengajaan melakukan sesuatu yang bersamaan pelaksanaanya.[5]

2.     Status
Fuqoha berbeda pendapat dalam menentukan status niat dalam ibadah, apakah ia merupakan rukun atau syarat. Perbedaan ini bermula dari perbedaan sudut pandang dan latar belakang masalah yang mereka hadapi. Ulama yang melihat dari sisi penyebutan niat harus dilakukan pada permulaan ibadah, akan menyimpulkan bahwa niat adalah rukun. Sementara mereka yang memandang bahwa niat harus tetap ada (tidak ada perbuatan yang bertentangan atau menegaskan dan memutus niat), akan memberi status niat sebagai syarat. Berikut ada beberapa petikan pendapat ulama mengenai status niat.
a.      Segolongan ulama
Niat adalah rukun, sebab niat termasuk dalam ibada itu sendiri (sesuatu yang termasuk dalam ibadah adalah rukun).
b.     Al-Qadli Abu Thayyib dan Shabbagh
Nilai adalah syarat, karena apabila tidak dikatakan syarat akan dinamakan rukun tentu niat akan membutuhkan niat lagi dan begitu seterusnya, sehingga terjadi mata rantai yang tak berkesudahan (tasalsul).
c.      Al-Raf’i dan al-Nawawi
Niat adalah rukun dalam shalat, sedang dalam puasaniat  adalah syarat.
d.     Al-Ghazali
Dalam puasa, niat merupakan rukun sedangkan dalam shalat adalah syarat.
Banyaknya  perbedaan pendapat mengenai status niat ini Taqiyuddi al-Hishni berusaha memadukannya dalam ungkapan berikut “setiap pekerjaan yang keabsahannya tergantung pada niat, maka ia dinamakan rukun dalam pekerjaan itu.” Contohnya shalat, yang tidak akan bisa sah bila didirikan tanpa niat. Sedangkan satu pekerjaan yang bisa sah tanpa niat, seperti halnya perbuatan-perbuatan  mubah (muhabat) atau meninggalkan maksiat yang ditujukan untuk beribadah (taqqarrub), maka niat dinamakan syarat mendapat pahala. Melalui upaya ragam tersebut dengan sendirinya akan mencair.[6]

3.     Tempat
Tempat niat adalah didalam hati, sehingga apabila ada sebuah niat yang diucapkan dengan lisan maka niat itu tidak sah. Dan apabila ada sebuah niat dilakukan pada dua tempat yaitu hati dan lisan maka yang dimenangkan adalah niat yang ada didalam hati. Misalkan seperti dalam shalat, ketika seseorang sholat dhuhur, dan lisannya berniat sholat dhuhur dengan jama’ah sedangkan didalam hatinya tidak bt sholat jama’ah, maka seseorang itu tidak dihukumi sholat jama’ah.
Perbedaan ulama’tentang melafadzkan niat. Menurut Madzhab Syafi’i mengatakan Sunnah, madzhab Maliki mengatakan  boleh, tetapi lebih utama ditinggal, bahkan sebagian pengikutnya yang lain menganggap bid’ah kecuali bagi orang-orang yang ragu-ragu, maka boleh melafadzkan niat untuk mengusir ragu-ragu, sedangkan menurut Madzhab Hanbali berpendapat bagi orang yang tidak mampu menghadirkan niat dalam hati atau ragu-ragu dalam niatnya, maka cukup baginya, niat pada lisan.
Madzhab Hanafi:sebagian mengatakan sunnah, dan sebagian yang lain mengatakan makruh.[7]

4.     Waktu
Pelaksanaan niat secara umum adalah pada awal ibadah. Hal ini didasarkan penelitian Ulama’yang mengatakan bahwa huruf “ba’” yang terdapat pada kata bi al niyyat mempunyai makna mushahabah (membersamakan). Hal ini memberikan sebuah pengertian bahwa niat merupakan bagian dari amal itu sendiri, oleh karenanya niat tidak boleh diakhirkan dari amal yang akan dekerjakan, apalagi didahulukan. Namun ada pengecualian dalam hal ini. Seperti pada ibadah puasa wajib. Pada awalnya, niat puasa wajib harus dilakukan pada awal pelaksanaannya;yaitu tepat pada saat muncul fajar shadiq. Namun karena melihat kenyataan bahwa sangat sulit mengetahui munculnya fajar shadiq, maka syari’at memberi kebijakan bahwa niat puasa dimajukan waktunya, yaitu sebelum waktu subuh tiba.
Dalam masalah waktu pelaksanaan niat ini, banyak ritual ibadah yang mempunyai dua permulaan , yaitu:
a.      Awal Haqiqi adalah permulaan suatu pekerjaan yang tidak didahului oleh apapun
b.     Awal Nisbi adalah permulaan yang masih didahului perkara lain
Contoh ibadah yang mempunyai dua awalan ini adalah tayamum, yang pertamakali harus dilakukan adalah niat yang bersamaan dengan memindah debu(awal haqiqi), juga harus niat berbarengan dengan awal mengusap debu dengan wajah (awal nisbi).[8]
5.     Pembatal
Hal-hal yang membatalkan niat adalah:
a.      Riddah atau Murtad; yaitu terputusnya agama islam seseorang, baik yang ditimbulkan dari i’tiqad (niat),ucapan atau perbuatan yang yang menyebabkannya kufur. Riddah dapat membatalkan ibadah walaupun ibadah yang dilakukan sebatas perbuatan lahir (shuwariyah) dan tidak murni atas inisiatif pelaku. Seperti riddah yang terjadi pada anak kecil yang sedang shalat, maka menurut al-Rawyani, shalatnya batal sebagimana bila hal ini terjadi pada orang dewasa.
b.     Berniat memutus atau tidak melanjutkan ibadah yang sedang dijalankan. Semisal orang melakukan shalat, kemudian berniat memutus shalatnya, maka shalatnya menjadi batal. Hukum batal shalat dengan niat memutus ini merupakan hasil analogi (qiyas) dengan masalah iman, dimana iman sendiri bisa putus dari hati seorang muslim.
c.      Niat mengganti (qalb) atau memindah (naql) satu ibadah dengan ibadah yang lain. Mengenai hal ini dapat diklasifikasikan dan digambarkan dengan contoh:
1)     Mengganti sebuah shalat fardlu dengan shalat fardhlu yang lain, maka keduanya-duanya menjadi tidak sah.
2)     Mengganti shalat sunah pada shalat fardlu, juga tidak sah keduanya.
3)     Merubah sholat fardhlu menjadi shalat sunnah.
4)     Ketidakmampuan orang yang berniat untuk melaksanakan ibadah yang diniati.
Dalam hal ini dibagi menjadi tiga kategori:
a)     Ketidakmampuan ditinjau dari susut pandang akal, dengan kata lain, menurut nalar normal dia tidak mampu untuk melaksanakan dua hal yang mampu untuk melaksanakan dua hal yang berlawanan yang dia niati dalam waktu bersamaan. Contohnya berwudlu dengan niat untuk mendirikan shalat sekaligus tidak mendirikan shalat secara bersamaan. Wudlu semacam ini tidak sah, dan perbuatan semacam ini menurut Fuqoha dianggap termasuk ‘main-main’ dalam ibadah (tala’ub), seperti yang dijelaskan oleh Imam Zakaria al-Anshari (841-925 H).
b)     Ketidakmampuan dalam tinjauan syari’at. Contohnya seseorang yang berwudlu dengan niat untuk melakukan shalat di tempat yang najis. Walaupun shalat di tempat yang najis secara nalar mampu dilakukan tapi dalam tinjauan syariat dipandang tidak bisa terlaksana dengan sah. Menurut imam Al-Syawbari wudlu semacam ini hukumnya tidak sah, walaupun ada ulama lain yang mengatakan sah.
c)     Ketidakmampuan ditinjau dari kebiasaan umum (‘adiy). Contoh, orang yang berwudlu di bulan Muharam untuk melaksanakan shalat Hari Raya pada bulan Syawal, dengan renatan waktu antara wudlu dan pelaksanaan shalat ‘id mencapai 10 bulan. Menur al-Rawyani, wudlu semacam ini tidak sah walaupun ada yang menyatakan tetap sah. Yang mengatakan tidak sah beragumen, secara umum sangat sulit seseorang  mampu mempertahankan kesucian wudlunya selama rentang waktu sepuluh bulan. Sedangkan ulama yang mengatakan sah beralasan, seorang mushalli (subjek shalat) telah mempertautkan wudlu dengan perbuatan yang sah yaitu shalat ‘id dengan demikian maka wudlunya sah. Lain halnya dengan demikian dua contoh sebelumnya yang notabene mustahil terlaksana, baik secara nalar maupun syar’i.[9]

6.     Syarat-syarat
Niat, seperti yang telah di paparkan di atas, pada dasarnya adalah ibadah yang tentunya mempunyai syarat-syarat tertentu. Tanpa syarat-syarat itu, seseorang tidak dapat disebut berniat, baik dipandang dari tinjauan syara’ ataupun akal. Diantaranya:
a.      Islam
Orang yang melaksanakan niat haruslah seorang muslim. Hal ini kiranya cukup beralasan karena adanya hubungan yang terjalin begitu erat antara niat dengan diterima atau tidaknya amal ibadah seseorang. Seperti telah diketahui, ibadah orang kafir tidak diterima oleh Allah Swt. karena dia tidak beriman kepada-Nya.
b.     Tamyiz (dapat membedakan baik dan buruk)
Yang dimaksud tamyiz adalah potensi yang terdapat pada otak seserang yang dapat menumbuhkan kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang menjadi kebutuhan vitalnya, dan dapat membedakan antara baik dan buruk serta didukung oleh panca indra yang normal. Dengan adanya syarat ini, maka ibadah yang dilakukan anak kecil yang belum tamyiz dan orang gila dihukumi tidak sah, karena belum memenuhi kedua syarat diatas.
c.      Mengetahui status ibadah yang diniati
Maksud dari syarat-syarat yang biasa disebut fuqoha sebagai muthabiq lil waqi adalah pengetahuan seseorang terhadap status hukum ibadah yang diniati, apakah tergolong ibadah fardlu, sunnah, atau yang lainnya. Karenanya, orang yang meyakini bahwa seluruh perbuatan yang dilakukannya dalam shalat adalah adalah sunah, maka sholatnya tidak sah. Sebab dia tidak bisa membedakan antara perbuatan yang fardlu dan yang sunah. Lain masalahnya bila dia meyakini bahwa semua perbuatan yang ada dalam shalat adalah fardlu, yang menurut satu pendapat (al-ashah) shalatnya tetap sah. Karena implikasi dari keyakinan semacam ini lebih kecil dibandingkan orang yang melakukan shalat sunah tapi meyakini bahwa semua perbuatannya adalah fardlu.
Orang yang meyakini bahwa didalam shalat ada perbuatan fardlu dan sunah, tapi tiidak bisa membedakan antara keduanya, maka shalatnya tetap sah dengan catatan dia tidak meyakini perbuatan yang sunah sebagai fardlu. Ketentuan ini berlaku bagi ‘ami (oranh awam) ataupun faqih (orang alim) seperti yang dijelaskan Ibnu Hajar. Sedangkan menurut al-Baghawi, jika ketidakmampuan membedakan derajat ibadah  ini terjadi pada orang alim atau faqih, maka shalatnya tidak sah.
Sementara, orang yang melakukan shalat dan tidak memiliki keyakinan apapun terhadap apa yang dikerjakan, sedangkan ia termasuk golongan orang awam dalam masalah itu, maka shalatnya dihukumi sah.
d.     Tiadanya sesuatu yang merusak niat
Syarat keempat ini dimaksudkan untuk menjaga niat dari hal-hal yang merusak, diantaranya adalah ragu-ragu dalam niat. Seseorang yang ketika shalat masih ragu apakah dia akan memutus shalat atau tidak, maka shalatnya menjadi batal, karena dia telah melakukan sesuatu yang merusak niatnya.

7.     Tata Cara Melakukan Niat
Dalam pelaksananya, niat adalah sesuatu yang kondisinal tergantung pada manwi (obyek yang diniati). Jika kita mengerjakan wudhu, maka yang kita niati adalah menghilangkan ‘penghalang’ shalat seperti hadats. Lain lagi dengan shalat, dalam shalat yang diniati adalah melakukan beberapa pekerjaan dan ucapan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Demekian pula haji, puasa, dan zakat, ketiganya memiliki manwi tersendiri.[10]


BAB III
PENUTUP

A.    SIMPULAN
Dasar yang melandasi kaidah ‘al-umur bi al-maqashid yaitu Al-Quran dan Al-Hadits. Dalam Al-Quran diterangkan dalam Q.S Al-Bayyinah ayat 5, Q.S Hud ayat 31, dan Q.S Al-Baqarah ayat 225 dan 265. Sedangkan dalam Al-Hadits yang telah diriwayatkan Nabi Muhammad Saw. yaitu yang artinya ”Keabsahan amal-amal tergantung pada niat”. Dan telah dijelaskan juga Imam Syihab dalam kitabnya “Musnad al-Syihab” dari Anas menggunakan redaksi yang artinya “Niat orang mukmin lebih baik daripada amal perbuatannya” .
Prinsip-prinsip niat diantaranya substansi, status, tempat, waktu,pembatal, syarat-syarat, dan tatacara melaksanakan niat. Secara substansi niat secara etimologi adalah kesengajaan atau tujuan. Sedangkan niat dalam  pengertian syariat adalah ketetapan hati untuk melaksakan sesuatu. Sedangkan menurut istilah Fuqoha’ niat adalah kesengajaan melakukan sesuatu yang bersamaan pelaksanaanya. Status niat itu sendiri Fuqoha berbeda pendapat dalam menentukan status niat dalam ibadah, apakah ia merupakan rukun atau syarat. Tempat niat adalah didalam hati, sehingga apabila ada sebuah niat yang diucapkan dengan lisan maka niat itu tidak sah. Sedangkan pelaksanaan niat secara umum adalah pada awal ibadah. Hal ini didasarkan penelitian Ulama’yang mengatakan bahwa huruf “ba’” yang terdapat pada kata bi al niyyat mempunyai makna mushahabah (membersamakan). Hal-hal yang membatalkan niat itu sendiri adalah: riddah atau murtad, berniat memutus atau tidak melanjutkan ibadah yang sedang dijalankan, dan niat mengganti (qalb) atau memindah (naql) satu ibadah dengan ibadah yang lain. Adapun syarat-syarat niat diantaranya: islam, tamyiz, mengetahui status ibadah yang diniati, dan tiadanya sesuatu yang merusak niat. Dan dalam pelaksananya, niat adalah sesuatu yang kondisinal tergantung pada manwi (obyek yang diniati). Jika kita mengerjakan wudhu, maka yang kita niati adalah menghilangkan ‘penghalang’ shalat seperti hadats. Lain lagi dengan shalat, dalam shalat yang diniati adalah melakukan beberapa pekerjaan dan ucapan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Demekian pula haji, puasa, dan zakat, ketiganya memiliki manwi tersendiri.

B.    SARAN
Penulis menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang tidak pernah luput dari kesalahan, sehingga secara pribadi penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini agar nantinya dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca khususnya bagi penulis sendiri.













DAFTAR PUSTAKA

Abbas Ahmad Sudirman. 2004. Qawaid Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqh. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya
Maimoen Zubair. 2017. Formulasi Nalar Fiqh. Surabaya: Santri Salaf Press
Washil Nashr Farid Muhammad dan Azzam Abdul Aziz Muhammad. 2017. Qawa’id Fiqhyyah. Jakarta: Amzah



[1] Maimoen Zubair, Formulasi Nalar Fiqh, (Surabaya: Santri Salaf Press), Cet. VI, Januari 2017, hlm. 90-91
[2] Maimoen Zubair, Formulasi Nalar Fiqh, (Surabaya: Santri Salaf Press), Cet. VI, Januari 2017, hlm. 91-94
[3] Ahmad Sudirman Abbas, Ma, Qawaid Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya), Cet. 1 Sep. 2004, hlm. 4-5
[4] Maimoen Zubair, Formulasi Nalar Fiqh, (Surabaya: Santri Salaf Press), Cet. VI, Januari 2017, hlm. 92
[5] Ibid, 96-97
[6] Ibid, hlm. 98-99
[7] Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhyyah (Jakarta: Amzah), Cet. III, September 2017, hlm. 36-37
[8] Maimoen Zubair, Formulasi Nalar Fiqh, (Surabaya: Santri Salaf Press), Cet. VI, Januari 2017, hlm. 101-103
[9] Ibid, hlm. 105-106
[10] Ibid, hlm. 108-110

Pengertian, rukun dan syarat , impementasi Wakalah dan Murabahah

A.     Wakalah 1.      Pengertian Wakalah Perwakilan (wakalah) adalah al-wakalah atau al –wikalah. Menurut bahasa artinya al hifdz,...