HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR............................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang............................................................. 1
B.
Rumusan
Masalah........................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Dasar
Kaidah.............................................................. . 2
B.
Prinsip-Prinsip
Niat...................................................... 5
1.
Substnsi................................................................
5
2.
Status.................................................................... . 6
3.
Tempat................................................................. . 7
4.
Waktu................................................................... . 7
5.
Pembatal............................................................... . 8
6.
Syarat-syarat........................................................ . 10
7.
Tata
cara melakukan niat..................................... . 12
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan................................................................... 13
B.
Saran........................................................................... . 14
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Qawaid fiqh (kaidah-kaidah fiqh) merupakan cara menetapkan hukum dari
perbuatan mukallaf dengan objek kajiannya yaitu mukalllaf baik dalam konteks
muamalah, qawaid berbeda dengan ushul fiqh karena ushul fiqh lebih kepada
penggalian suatu hukum sehingga menghasilkan hukum
(halal,haram,makruh,sunnah,mubah). Kaidah fiqh digunakan untuk memudahkan kita
dalam mencari dasar atau landasan suatu kegiatan muamalah karena Al-Quran dan
Hadits tidak menjelaskan semua kegiatan muamalah oleh karena itu, kita
membutuhkan kaidah fiqh terutama jika persoalan yang terjadi tidak terdapat di
dalam nash hukum dan ketetapannya maka bisa menggunakan kaidah fiqh. Salah satu
alasan Qawaid Fiqh digunakan karena, sudah tidak banyak orang yang hafal
Al-Quran dan hadits beserta maknanya maka,peran qawaid dibutuhkan sebagai
landasan bermuamalah.
Qawaid Fiqh mempunyai 5 dasar kaidah umum antara lain kaidah “Al-Umuru
bimaqashidiha” (segala perkara tergantung pada niatnya). Niat menjadi hal
utama dalam setiap perbuatan kita, dengan niat kita akan terarah maksud dan
tujuan perbuatan yang dilakukan maka, penting bagi kita mengetahui kaidah ini,
agar kita mempunyai landasan dalam melakukan suatu hal baik sosial, ekonomi
maupun ibadah. Banyak orang mengatakan niat terletah dalam hati maupun dengan
diucapkan serta mempunyai fungsi yang penting diantaranya untuk membedakan
ibadah dan kebiasaan. Oleh karena itu kita harus membedakan bagaimana bentuk
niat dan penerapannya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah dasar yang melandasi kaidah ‘al-umur bi al-maqashid?
2. Bagaimana prinsip-prinsip niat (substansi, status, tempat, waktu, pembatal,
syarat, dan tata cara melaksanakan niat?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
DASAR KAIDAH
1.
Al-Quran
a.
Mengenai
keharusan melakukan niat dalam ibadah, Allah Swt. menyatakan dalam Al-Quran
Surah Al-Bayyinah ayat 5:
وَمَاأُمِرُوْااِلَّالِيَعْبُدُوْاالله
مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ
Artinya:
“Mereka
(orang-orang kafir) tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah (beribadah)
kepada Allah, seraya memurnikan ikhlas dalam beragama ibadah.”
Kata al-din dalam bahasa Arab, secara umum biasa diartikan
sebagai agama. Namun dalam konteks ayat diatas, al-Qurthubi menafsirkan sebagai
ibadah. Dengan penafsiran ini, beliau menjelaskan bahwa ikhlas yang termuat
dalam kata mukhlisin, adalah perbuatan hati yang hanya dilakukan dalam
rangka beribadah. Ikhlas sendiri adalah pekerjaan hati yang hanya bisa terwujud
melalui perantara niat. Berniat merupakan hal yang wajib, seperti uang
diwajibkannya ikhlas dalam beribadah. Keduanya laksana dua sisi mata uang yang
tak dapat dipisahkan.[1]
Dalam ayat ini terdapat rajutan yang sangat kuat antara ibadah,
niat, ikhlas, dan pengesaan kepada Allah Swt. Bagaiman mungkin seseorang yang
atheis, misalnya akan punya niat untuk beribadah. Paling banter ia hanya
bertindak dengan orientasi materialisme (kebendaan) yang ada dalam benaknya.
Sama sekali tidak ada dimensi ikhlas dalam hatinya. Jangankan ikhlas, niat yang
seharusnya menjadi pijakan dan tolak ukur awal dalam berbuat, sama sekali tidak
diindahkan olehnya. Ada jurang pemisah yang menganga lebar antara pribadi
mukmin dan jiwa seorang atheis. Niat, ibadah, ikhlas, dan pengesaan kepada Yang
Maha Kuasa adalah proses berkelanjutan yang selalu terikat satu sama lain, dan
mampu menunjukan perbedaan jati diri pada kedua entitas itu.
Sedangkan ikhlas, sebuah fase paling akhir dan penting, adalah
ketaatan yang sama sekali bukan karena alasan-alasan yang bersifat duniawi
(material), melainkan semata-mata hanya untuk mengharap ridha Allah Swt. Dengan
pendekatan diri pada Allahh Swt. Serang mukmin dengan sendirinya akan
terbedakan dengan seseorang yang tak beragama. Namun dia tidak boleh berhenti
dalam titik ibadah yang hampa. Ia harus melalui lagi tahap yang berat. Dalam
beribadah, ia harus melakukannya tanpa ‘embel-embel’ apapun selain mencari
ridho-Nya. Ikhlas akan sangat menentukan bernilai atau tidaknya satu konstruk
ibadah, disamping akan berimplikasi pada kebaikan dunia dan akhirat. Pembahasan
mengenai niat, ibadah, ikhlas, dan hal-hal yang bersinggungan dengannya,
merupakan pesan terdalam pada ayat
diatas, sehingga dari sinilah terbangun kaidah al-umur bi maqashidiha.[2]
b.
Q.S
Hud ayat 31
"...وَلَااَقُوْلِلَّذِيْنَ تَزْدَري أَعْيُنُكُمْ لَنْ
يُؤْتِيَهَمُ اللهُ خَيْرًاۗأَللهُاَعْلَمُ
بِمَافِيْ اَنْفُسِهِمْ اِنِّيْ اِذًا لَمِنَالظَّالِمِيْنَ۞
Artinya:
“Dan
aku juga tidak mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh
penglihatanmu: sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan kepada
mereka”. Allah lebih mengetahui apa yang ada pada diri mereka. Sesunggungnya
aku, begitu benar-benar termasuk orang-orang yang zalim”.
c.
Q.S
Al-Baqarah ayat 225
لَا يُؤَاخِذُكُمُ
اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ
قُلُوبُكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمُ۞
Artinya:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud
(untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang
disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun”.
d.
Q.S
Al-Baqarah ayat 265
...
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّه...
Artinya:
“Orang-orang
yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah”[3]
2.
Al-Hadits
a.
Hadits
Nabi Saw. yang menjadi pondasi terbangunnya kaidah ini adalah:
اِنَمَا
لُ بِالنِّيَاتِ
Artinya:
”Keabsahan amal-amal tergantung pada niat”.
Pada tahapan awal pemahaman makna hadits ini, mungkin akan
menimbulkan interpretasi bahwa ibadah tidak akan ada tanpa niat. Namun hadits
ini tidak bisa dimaknai secara sepintas, lantaran sebuah pekerjaan tidak lantas
menjadi “tiada” dengan tanpa adanya niat. Karena jika haits ini diterjemahkan
seadanya, tanpa proses penafsiran lebih dalam, maka akan mempunyai arti ”sebuah
perbuatan tidak akan ada dan wujud tanpa niat”. Padahal, tentu sangat
banyak perbuatan yang bisa ”ada” tanpa melalui niat. Mengutip analisis Muhammad
Yasin al-Fadani, maksud hadits diatas adalah penilaian terhadap predikat sebuah
pekerjaan yang terkait erat dengan keberadaan atau eksistensinya, seperti sah
atau sempurna. Dengan adanya penilaian ini, suatu keabsahan atau kesempurnaan
pekerjaan sangat tergantung pada niat pelakunya. Inilah makna hadits yang benar
menurut Syaikh Yasin.
Penelusuran secara semantik juga akan menguak kandungan terdalam
hadits tersebut, sekaligus akan ditemukan beberapa elemen penting yang
membuatnya layak untuk dijadikan bahan pijakan membangun kaidah “al-umuru bi
maqashidiha” ini. Pada permulaan hadits itu terdapat huruf innama
yang berfungsi sebagai media “pembatas” rangkaian kalimat sesudahnya (adat
al-hashr) artinya , ketika kata al-a’mal bi al-niyyat didahului oleh
kata innama, maka akan menimbulkan pengertian bahwa hanya dengan niatlah
amal perbuatan seseorang akan layak diperhitungkan; dianggap sebagai amal
ibadah, tidak dengan selainnya.[4]
b.
Imam
Syihab dalam kitabnya “Musnad al-Syihab” dari Anas menggunakan redaksi:
نية
المؤمن خيـرمن عمله
Artinya”
“Niat orang mukmin lebih baik
daripada amal perbuatannya”
B.
PRINSIP-PRINSIP
NIAT
1.
Substansi
Niat secara etimologi adalah kesengajaan atau tujuan. Sedangkan niat dalam pengertian syariat adalah ketetapan hati untuk
melaksakan sesuatu. Sedangkan menurut istilah Fuqoha’ niat adalah kesengajaan
melakukan sesuatu yang bersamaan pelaksanaanya.[5]
2.
Status
Fuqoha berbeda pendapat dalam menentukan status niat dalam ibadah,
apakah ia merupakan rukun atau syarat. Perbedaan ini bermula dari perbedaan
sudut pandang dan latar belakang masalah yang mereka hadapi. Ulama yang melihat
dari sisi penyebutan niat harus dilakukan pada permulaan ibadah, akan menyimpulkan
bahwa niat adalah rukun. Sementara mereka yang memandang bahwa niat harus tetap
ada (tidak ada perbuatan yang bertentangan atau menegaskan dan memutus niat),
akan memberi status niat sebagai syarat. Berikut ada beberapa petikan pendapat
ulama mengenai status niat.
a.
Segolongan
ulama
Niat
adalah rukun, sebab niat termasuk dalam ibada itu sendiri (sesuatu yang
termasuk dalam ibadah adalah rukun).
b.
Al-Qadli
Abu Thayyib dan Shabbagh
Nilai
adalah syarat, karena apabila tidak dikatakan syarat akan dinamakan rukun tentu
niat akan membutuhkan niat lagi dan begitu seterusnya, sehingga terjadi mata
rantai yang tak berkesudahan (tasalsul).
c.
Al-Raf’i
dan al-Nawawi
Niat
adalah rukun dalam shalat, sedang dalam puasaniat adalah syarat.
d.
Al-Ghazali
Dalam
puasa, niat merupakan rukun sedangkan dalam shalat adalah syarat.
Banyaknya perbedaan pendapat mengenai status niat ini
Taqiyuddi al-Hishni berusaha memadukannya dalam ungkapan berikut “setiap
pekerjaan yang keabsahannya tergantung pada niat, maka ia dinamakan rukun dalam
pekerjaan itu.” Contohnya shalat, yang tidak akan bisa sah bila didirikan tanpa
niat. Sedangkan satu pekerjaan yang bisa sah tanpa niat, seperti halnya
perbuatan-perbuatan mubah (muhabat) atau
meninggalkan maksiat yang ditujukan untuk beribadah (taqqarrub), maka niat
dinamakan syarat mendapat pahala. Melalui upaya ragam tersebut dengan
sendirinya akan mencair.[6]
3.
Tempat
Tempat niat adalah didalam hati, sehingga apabila ada sebuah niat yang
diucapkan dengan lisan maka niat itu tidak sah. Dan apabila ada sebuah niat
dilakukan pada dua tempat yaitu hati dan lisan maka yang dimenangkan adalah
niat yang ada didalam hati. Misalkan seperti dalam shalat, ketika seseorang
sholat dhuhur, dan lisannya berniat sholat dhuhur dengan jama’ah sedangkan
didalam hatinya tidak bt sholat jama’ah, maka seseorang itu tidak dihukumi
sholat jama’ah.
Perbedaan ulama’tentang melafadzkan niat. Menurut Madzhab Syafi’i
mengatakan Sunnah, madzhab Maliki mengatakan boleh, tetapi lebih utama ditinggal, bahkan
sebagian pengikutnya yang lain menganggap bid’ah kecuali bagi orang-orang yang
ragu-ragu, maka boleh melafadzkan niat untuk mengusir ragu-ragu, sedangkan
menurut Madzhab Hanbali berpendapat bagi orang yang tidak mampu menghadirkan
niat dalam hati atau ragu-ragu dalam niatnya, maka cukup baginya, niat pada
lisan.
Madzhab Hanafi:sebagian mengatakan sunnah, dan sebagian yang lain mengatakan makruh.[7]
Madzhab Hanafi:sebagian mengatakan sunnah, dan sebagian yang lain mengatakan makruh.[7]
4.
Waktu
Pelaksanaan niat secara umum adalah pada awal ibadah. Hal ini didasarkan
penelitian Ulama’yang mengatakan bahwa huruf “ba’” yang terdapat pada
kata bi al niyyat mempunyai makna mushahabah (membersamakan). Hal
ini memberikan sebuah pengertian bahwa niat merupakan bagian dari amal itu
sendiri, oleh karenanya niat tidak boleh diakhirkan dari amal yang akan
dekerjakan, apalagi didahulukan. Namun ada pengecualian dalam hal ini. Seperti
pada ibadah puasa wajib. Pada awalnya, niat puasa wajib harus dilakukan pada
awal pelaksanaannya;yaitu tepat pada saat muncul fajar shadiq. Namun
karena melihat kenyataan bahwa sangat sulit mengetahui munculnya fajar shadiq,
maka syari’at memberi kebijakan bahwa niat puasa dimajukan waktunya, yaitu
sebelum waktu subuh tiba.
Dalam masalah waktu pelaksanaan niat ini, banyak ritual ibadah yang mempunyai dua permulaan , yaitu:
Dalam masalah waktu pelaksanaan niat ini, banyak ritual ibadah yang mempunyai dua permulaan , yaitu:
a.
Awal Haqiqi adalah
permulaan suatu pekerjaan yang tidak didahului oleh apapun
b.
Awal Nisbi adalah
permulaan yang masih didahului perkara lain
Contoh ibadah yang mempunyai dua awalan ini adalah tayamum, yang pertamakali harus dilakukan adalah niat yang bersamaan dengan memindah debu(awal haqiqi), juga harus niat berbarengan dengan awal mengusap debu dengan wajah (awal nisbi).[8]
Contoh ibadah yang mempunyai dua awalan ini adalah tayamum, yang pertamakali harus dilakukan adalah niat yang bersamaan dengan memindah debu(awal haqiqi), juga harus niat berbarengan dengan awal mengusap debu dengan wajah (awal nisbi).[8]
5.
Pembatal
Hal-hal
yang membatalkan niat adalah:
a.
Riddah atau
Murtad; yaitu terputusnya agama islam seseorang, baik yang ditimbulkan dari i’tiqad
(niat),ucapan atau perbuatan yang yang menyebabkannya kufur. Riddah dapat
membatalkan ibadah walaupun ibadah yang dilakukan sebatas perbuatan lahir (shuwariyah)
dan tidak murni atas inisiatif pelaku. Seperti riddah yang terjadi
pada anak kecil yang sedang shalat, maka menurut al-Rawyani, shalatnya batal
sebagimana bila hal ini terjadi pada orang dewasa.
b.
Berniat memutus atau tidak
melanjutkan ibadah yang sedang dijalankan. Semisal orang melakukan shalat,
kemudian berniat memutus shalatnya, maka shalatnya menjadi batal. Hukum batal
shalat dengan niat memutus ini merupakan hasil analogi (qiyas) dengan
masalah iman, dimana iman sendiri bisa putus dari hati seorang muslim.
c.
Niat mengganti (qalb) atau
memindah (naql) satu ibadah dengan ibadah yang lain. Mengenai hal ini
dapat diklasifikasikan dan digambarkan dengan contoh:
1)
Mengganti sebuah shalat fardlu
dengan shalat fardhlu yang lain, maka keduanya-duanya menjadi tidak sah.
2)
Mengganti shalat sunah pada shalat
fardlu, juga tidak sah keduanya.
3)
Merubah sholat fardhlu menjadi shalat
sunnah.
4)
Ketidakmampuan orang yang berniat
untuk melaksanakan ibadah yang diniati.
Dalam hal ini dibagi menjadi tiga
kategori:
a)
Ketidakmampuan ditinjau dari susut
pandang akal, dengan kata lain, menurut nalar normal dia tidak mampu untuk
melaksanakan dua hal yang mampu untuk melaksanakan dua hal yang berlawanan yang
dia niati dalam waktu bersamaan. Contohnya berwudlu dengan niat untuk
mendirikan shalat sekaligus tidak mendirikan shalat secara bersamaan. Wudlu
semacam ini tidak sah, dan perbuatan semacam ini menurut Fuqoha dianggap
termasuk ‘main-main’ dalam ibadah (tala’ub), seperti yang dijelaskan
oleh Imam Zakaria al-Anshari (841-925 H).
b)
Ketidakmampuan dalam tinjauan
syari’at. Contohnya seseorang yang berwudlu dengan niat untuk melakukan shalat
di tempat yang najis. Walaupun shalat di tempat yang najis secara nalar mampu
dilakukan tapi dalam tinjauan syariat dipandang tidak bisa terlaksana dengan
sah. Menurut imam Al-Syawbari wudlu semacam ini hukumnya tidak sah, walaupun
ada ulama lain yang mengatakan sah.
c)
Ketidakmampuan ditinjau dari
kebiasaan umum (‘adiy). Contoh, orang yang berwudlu di bulan Muharam
untuk melaksanakan shalat Hari Raya pada bulan Syawal, dengan renatan waktu
antara wudlu dan pelaksanaan shalat ‘id mencapai 10 bulan. Menur
al-Rawyani, wudlu semacam ini tidak sah walaupun ada yang menyatakan tetap sah.
Yang mengatakan tidak sah beragumen, secara umum sangat sulit seseorang mampu mempertahankan kesucian wudlunya selama
rentang waktu sepuluh bulan. Sedangkan ulama yang mengatakan sah beralasan,
seorang mushalli (subjek shalat) telah mempertautkan wudlu dengan
perbuatan yang sah yaitu shalat ‘id dengan demikian maka wudlunya sah.
Lain halnya dengan demikian dua contoh sebelumnya yang notabene mustahil
terlaksana, baik secara nalar maupun syar’i.[9]
6.
Syarat-syarat
Niat, seperti yang telah di paparkan di atas, pada dasarnya adalah ibadah
yang tentunya mempunyai syarat-syarat tertentu. Tanpa syarat-syarat itu,
seseorang tidak dapat disebut berniat, baik dipandang dari tinjauan syara’
ataupun akal. Diantaranya:
a. Islam
Orang yang melaksanakan
niat haruslah seorang muslim. Hal ini kiranya cukup beralasan karena adanya
hubungan yang terjalin begitu erat antara niat dengan diterima atau tidaknya
amal ibadah seseorang. Seperti telah diketahui, ibadah orang kafir tidak
diterima oleh Allah Swt. karena dia tidak beriman kepada-Nya.
b. Tamyiz (dapat membedakan baik dan buruk)
Yang dimaksud tamyiz
adalah potensi yang terdapat pada otak seserang yang dapat menumbuhkan
kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang menjadi kebutuhan vitalnya, dan dapat
membedakan antara baik dan buruk serta didukung oleh panca indra yang normal.
Dengan adanya syarat ini, maka ibadah yang dilakukan anak kecil yang belum tamyiz
dan orang gila dihukumi tidak sah, karena belum memenuhi kedua syarat diatas.
c. Mengetahui status ibadah yang diniati
Maksud dari
syarat-syarat yang biasa disebut fuqoha sebagai muthabiq lil waqi adalah
pengetahuan seseorang terhadap status hukum ibadah yang diniati, apakah
tergolong ibadah fardlu, sunnah, atau yang lainnya. Karenanya, orang yang
meyakini bahwa seluruh perbuatan yang dilakukannya dalam shalat adalah adalah
sunah, maka sholatnya tidak sah. Sebab dia tidak bisa membedakan antara
perbuatan yang fardlu dan yang sunah. Lain masalahnya bila dia meyakini bahwa
semua perbuatan yang ada dalam shalat adalah fardlu, yang menurut satu pendapat
(al-ashah) shalatnya tetap sah. Karena implikasi dari keyakinan semacam
ini lebih kecil dibandingkan orang yang melakukan shalat sunah tapi meyakini
bahwa semua perbuatannya adalah fardlu.
Orang yang meyakini
bahwa didalam shalat ada perbuatan fardlu dan sunah, tapi tiidak bisa
membedakan antara keduanya, maka shalatnya tetap sah dengan catatan dia tidak
meyakini perbuatan yang sunah sebagai fardlu. Ketentuan ini berlaku bagi ‘ami
(oranh awam) ataupun faqih (orang alim) seperti yang dijelaskan Ibnu
Hajar. Sedangkan menurut al-Baghawi, jika ketidakmampuan membedakan derajat
ibadah ini terjadi pada orang alim atau faqih,
maka shalatnya tidak sah.
Sementara, orang yang
melakukan shalat dan tidak memiliki keyakinan apapun terhadap apa yang
dikerjakan, sedangkan ia termasuk golongan orang awam dalam masalah itu, maka
shalatnya dihukumi sah.
d. Tiadanya sesuatu yang merusak niat
Syarat keempat ini
dimaksudkan untuk menjaga niat dari hal-hal yang merusak, diantaranya adalah
ragu-ragu dalam niat. Seseorang yang ketika shalat masih ragu apakah dia akan
memutus shalat atau tidak, maka shalatnya menjadi batal, karena dia telah
melakukan sesuatu yang merusak niatnya.
7.
Tata Cara Melakukan Niat
Dalam
pelaksananya, niat adalah sesuatu yang kondisinal tergantung pada manwi
(obyek yang diniati). Jika kita mengerjakan wudhu, maka yang kita niati adalah
menghilangkan ‘penghalang’ shalat seperti hadats. Lain lagi dengan
shalat, dalam shalat yang diniati adalah melakukan beberapa pekerjaan dan
ucapan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Demekian
pula haji, puasa, dan zakat, ketiganya memiliki manwi tersendiri.[10]
BAB
III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Dasar yang melandasi kaidah ‘al-umur bi al-maqashid
yaitu Al-Quran dan Al-Hadits. Dalam Al-Quran diterangkan dalam Q.S Al-Bayyinah ayat 5, Q.S Hud ayat 31, dan Q.S Al-Baqarah ayat
225 dan 265. Sedangkan dalam Al-Hadits yang telah diriwayatkan Nabi Muhammad
Saw. yaitu yang artinya ”Keabsahan amal-amal tergantung pada niat”. Dan
telah dijelaskan juga Imam Syihab dalam kitabnya “Musnad al-Syihab” dari
Anas menggunakan redaksi yang artinya “Niat orang mukmin lebih baik daripada
amal perbuatannya” .
Prinsip-prinsip niat diantaranya
substansi, status, tempat, waktu,pembatal, syarat-syarat, dan tatacara
melaksanakan niat. Secara substansi niat secara etimologi
adalah kesengajaan atau tujuan. Sedangkan niat dalam pengertian syariat adalah ketetapan hati
untuk melaksakan sesuatu. Sedangkan menurut istilah Fuqoha’ niat adalah
kesengajaan melakukan sesuatu yang bersamaan pelaksanaanya. Status niat itu
sendiri Fuqoha berbeda pendapat dalam menentukan status niat dalam ibadah,
apakah ia merupakan rukun atau syarat. Tempat niat adalah
didalam hati, sehingga apabila ada sebuah niat yang diucapkan dengan lisan maka
niat itu tidak sah. Sedangkan pelaksanaan niat secara umum adalah pada awal
ibadah. Hal ini didasarkan penelitian Ulama’yang mengatakan bahwa huruf “ba’”
yang terdapat pada kata bi al niyyat mempunyai makna mushahabah
(membersamakan). Hal-hal yang
membatalkan niat itu sendiri adalah: riddah atau
murtad, berniat memutus atau tidak melanjutkan ibadah yang sedang dijalankan,
dan niat mengganti (qalb) atau memindah (naql) satu ibadah dengan
ibadah yang lain. Adapun syarat-syarat niat diantaranya: islam, tamyiz, mengetahui status ibadah yang diniati, dan tiadanya sesuatu yang merusak
niat. Dan dalam pelaksananya, niat adalah
sesuatu yang kondisinal tergantung pada manwi (obyek yang diniati). Jika
kita mengerjakan wudhu, maka yang kita niati adalah menghilangkan
‘penghalang’ shalat seperti hadats. Lain lagi dengan shalat, dalam
shalat yang diniati adalah melakukan beberapa pekerjaan dan ucapan tertentu
yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Demekian pula haji,
puasa, dan zakat, ketiganya memiliki manwi tersendiri.
B.
SARAN
Penulis
menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang tidak pernah luput dari kesalahan,
sehingga secara pribadi penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran
yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini agar nantinya dapat
bermanfaat bagi seluruh pembaca khususnya bagi penulis sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas Ahmad Sudirman. 2004. Qawaid Fiqhiyyah Dalam
Perspektif Fiqh. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya
Maimoen Zubair. 2017. Formulasi
Nalar Fiqh. Surabaya: Santri Salaf Press
Washil Nashr Farid Muhammad dan Azzam Abdul Aziz Muhammad. 2017. Qawa’id
Fiqhyyah. Jakarta: Amzah
[1] Maimoen
Zubair, Formulasi Nalar Fiqh, (Surabaya: Santri Salaf Press), Cet. VI,
Januari 2017, hlm. 90-91
[2] Maimoen
Zubair, Formulasi Nalar Fiqh, (Surabaya: Santri Salaf Press), Cet. VI,
Januari 2017, hlm. 91-94
[3] Ahmad Sudirman
Abbas, Ma, Qawaid Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya), Cet. 1 Sep. 2004, hlm. 4-5
[4] Maimoen
Zubair, Formulasi Nalar Fiqh, (Surabaya: Santri Salaf Press), Cet. VI,
Januari 2017, hlm. 92
[5] Ibid,
96-97
[6] Ibid,
hlm. 98-99
[7] Nashr Farid
Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhyyah
(Jakarta: Amzah), Cet. III, September 2017, hlm. 36-37
[8] Maimoen
Zubair, Formulasi Nalar Fiqh, (Surabaya: Santri Salaf Press), Cet. VI,
Januari 2017, hlm. 101-103
[9] Ibid, hlm.
105-106
[10] Ibid, hlm.
108-110