Senin, 14 Oktober 2019

MAKALAH MUDHARABAH



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Mudharabah
Mudharabah atau giradh termasuk salah satu bentuk akad syirkah (perkongsian). Istilah mudharabah digunakan oleh orang Irak, sedangkan orang Hijaz menyebutnya dengan istilah qiradh. Dengan demikian, mudhorobah dan qiradh adalah dua istilah untuk maksud yang sama.
Menurut bahasa, qiradh (اَلْقِرَاضُ) diambil dari kata اَلْقَرْضُ yang berarti اَلْقَطْعُ (potongan), sebab pemilik memberikan potongan dari hartanya untuk diberikan kepada pengusaha agar mengusahakan harta tersebut dan pengusaha akan memberikan potongan dari laba yang diperoleh. Juga diambil dari kata muqaradhah (اَلْمُقَارَضَةُ) yang berarti اَلْمُسَاوَاةُ  (kesamaan), sebab pemilik modal dan pengusaha memiliki hak yang sama terhadap laba. Orang Irak menyebutnya dengan istilah mudharabah ( اَلْمُضَارَبَةُ) sebab كُلٌّ مِنَ الْعَاقِدَيْنِ يَضْرِبُ بِسَهْمِ الرِّبَحِ (setiap yang melakukan akad memiliki bagian dari laba), atau pengusaha harus mengadakan perjalanan dalam mengusahakan harta modal tersebut . perjalanan tersebut dinamakan:ضَرْبًافِى السَّفَرِ[1]
Jadi menurut bahasa, mudharabah atau qiradh berarti al-qath’u (potongan), berjalan, dan atau berpergian.
Menurut istilah, mudharabah atau qiradh dikemukakan oleh para ulama sebagai berikut :
1.     Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa mudharabah ialah :
“Akad yang menetukan seseorang menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk ditijarahkan”.
2.     Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mudharabah ialah :
“Akad perwakilan, dimana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (mas dan perak)”.
3.     Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan Umairah berpendapat bahwa mudharabah ialah :“Seseorang menyerahkan harta kepada yang lain untuk ditijarahkan dan keuntungan bersama-sama.”
Setelah diketahui beberapa pengertian yang dijelaskan oleh para ulama di atas, kiranya dapat dipahami bahwa mudharabah atau qiradh ialah akad antara pemilik modal (harta) dengan pengelola modal tersebut, dengan syarat bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai jumlah kesepakatan.[2]
Mudharabah adalah akad kerja sama dalam bentuk usaha dari yang memiliki modal (shahib al-maal) dengan pengelola modal (shabibu al-maal) dalam bentuk usaha perdangangan, perindustrian, dan sebagainya. Dengan keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama, misalnya dibagi dua, dibagi tiga, atau dibagi empat. [3]

B.    Dasar Hukum Mudharabah
Menurut Ijma Ulama, mudharabah hukumnya jaiz. Hal ini dapat diambil dari kisah Rasulullah yang pernah melakukan mudarabah dengan Siti Khadijah. Siti Khadijah bertindak sebagai pemilik dana Rasulullah sebgai pengelola dana. Lalu Rasulullah membawa barang dagangannya ke negeri Syam. Dari kisah ini kita lihat akad mudharabah telah terjadi pada masa Rasulullah sebelum diangkat menjadi Rasul. Mudharabah telah dipraktikkan secara luas oleh orang-orang sebelum masa Islam dan beberapa sahabat Nabi Muhammad SAW. Jenis bisnis ini sangat selaras dengan prinsip dasar ajaran syariah, oleh karena itu akad ini diperbolehkan secara syariah.[4]
1.   Al-Quran
فَاِذَاقُضِيَتِالصَّلَاةُفَانْتَشِرُوْافِى لْأَرْضِوَابْتَغُوْامِنْ فَضْلِ اللهِ... ۞الجمعة۞
“Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah SWT”. (Q.S. 62:10)
..فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ، وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ
“.... maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menuaikakan amanatnya dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya...”[5]

2.     As-Sunnah
Sebelum Rasulullah  diangkat menjadi Rasul, Rasulullah pernah melakukan Mudharabah dengan Khadijah, dengan modal dari Khadijah. Beliau pergi ke Syam dengan membawa modal tersebut untuk diperdagangkan.
قَالَ رَسُوُّلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُ الْبَيْعُ إِلىَ اَجَلٍ وَاْلمقَارَضَةُ وَاَخْلاَطُ الْبُرِّ بِاالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَلِلْبَيْعِ
Rasulullah saw bersabda: “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan, yaitu jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah) dan mencampuradukkan  gandum putih dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)
كَانَ سَيِّدِنَا الْعَبَّاسُ بْنِ عَبْدِاْلمُطَلِّبِ اِذَا دَفَعَ الْمَالَ مُضَارَبَةً اِشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ اَنْ لَا يَسْلُكَ بِهِ بَحْرًا, وَلَا يَنْزِلَ بِهِ وَادِيًا وَلَا يَشْتَرِيَ بِهِ دَابَّةً ذَاتَ كَبِدٍ رَطْبَةٍ فَإِ نْ فَعَلَ ذَلِكَ ضَمِنَ فَبَلَغَ شَرْتُهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَا‘لِهِ وَ سَلَّم فَأَ جَازُهُ
“Abbas  bin  Abdul  Muthallib  jika  menyerahkan  harta  sebagai Mudharabah,  ia mensyaratkan kepada pengelola dananya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (pengelola dana) harus menanggung resikonya. Ketika  persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar  Rasulullah,  beliau membenarkannya”. (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas)[6]

C.    Rukun Dan Syarat Mudharabah
Rukun dan syarat-syarat mudharabah menurut para ulama, sebagai berikut:
1.     Menurut ulama Syafi’i
Menurut ulama Syafi’i rukun-rukun mudharabah yang harus dipenuhi yaitu:
a.      Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya.
b.     Orang yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang.
c.      Aqad mudharobah, dilakukan oleh pemilik dengan pengola barang.
d.     Mal, yaitu harta pokok atau modal.
e.      Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba.
f.      Keuntungan.[7]
Syarat-syarat sah mudharabah menurut ulama Syafi’i yaitu:
a.      Modal atau barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai.Apabila barang itu berbentuk mas atau perak batangan (tabar), mas hiasan atau barang dagangannlainnya, mudharabah tersebut batal
Bagi orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasharruf, maka dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil,orang gila, dan orang-orang yang berada dibawah pengampuan.
Modal harus di ketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dengan laba atau keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
b.     Melafadzkan ijab dari pemilik modal, misalnya aku serahkan uang ini kepadamu untuk dagang jika ada keuntungan akan dibagi dua dan kabul dari pengelola.
c.      Mudharabah bersifat mutlak pemilik modal tidakmrngikut pengelola harta untuk berdagang dinegara tertentu, pada waktu-waktu tertentu  sementara diwaktu lain tidak karena persyaratan yang mengikat serng menyimpang dari tujuan akad mudharabah, yaitu keuntungan. Bila dalam mudharabah ada persyaratan-persyaratan, maka mudhrabah tersebut tidak rusak (fasid) menurut pendapat al-syafi’i dan malik. Sedangkan menurut Abu Hanafiah dan Ahmad Ibn Hanbal, mudharabah tersebut sah.[8]
2.     Menurut ulama Hanafiyah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun-rukun mudharabah ialah ijab dan qobul. Ijab kabul itu menggunakan lafadz yang menunjukan makna yang dimaksud. Misalnya, perkataan pemilik modal kepada mudhorif“ambilah uang ini dan jalankan dengan mudhorobah, muqaradhah atau bentuk transaksi lainnya atau ambila uang ini untuk mudhorobah dengan ketentuan Allah memberikan laba kepada kita, masing-masing kita menerima separuh, sepertiga, atau dua pertiga..” Lalu dijawab oleh mudhorif  “kami ambil,kami setujui, atau kamu terima”.
Syarat-syarat Mudharabah menurut Hanafiyah, adalah sebagai berikut:
a.      Modalnya berupa mata uang yang berlaku menurut ketentuan hukum negara sebagai alat transaksi.
b.     Besarnya modal harus jelas jumlahnya ketika terjadi proses transaksi.
c.      Modalnya harus ada pada pemilik ketika transaksi maka tidak sah mudharabah utang yang diberikan kepada mudharif.
d.     Bagian keuntungan pengelola modal harus jelas.
e.      Bagian keuntungan yang dijanjika untuk pengelola modal diambil dari keuntungan,bukan modal.[9]
3.     Menurut ulama Malikiyah
Menurut ulama Malikiyah rukun-rukun yang harus dipenuhi mudharabah  yaitu:
a.      Modal (ra’su mal)
b.     Amal (bentuk usaha atau pekerjaan)
c.      Laba
d.     Pihak yang mengadakan perikatan
e.      Sighat.
Syarat-syarat mudharabah menurut ulama Malikiyah :
a.      Penyerahan modal kepada pengelola modal harus dilakukan dengan sdegera.
b.     Modal harus diketahui jumlahnya secara jelas ketika perjanjian dilaksanakan.
c.      Pembagian keuntungan harus jelas disebutkan dalam perjanjian.
d.     Modal harus dikelola oleh pengelola modal.[10]
4.     Menurut Ulama Hanabilah
Rukun mudharabah ialah ijab dan kabul dengan menggunakan lafadz yang menunjukan arti mudharabah. Ijab mudharabah tidak harus disyaratkan dengan lafadh sebagaimana persyaratan dalam perwailan.
Syarat-syarat mudharabah menurut Ulama Hanabilah yaitu:
a.      Diterangkan dengan keuntungan untuk mengelola modal ,misalnya setengah, sepertiga, dan seterusnya. Apabila pemilik modal mensyaratkan kepada pengelola agar bertanggung jawab atas uang yang ada padanya, syarat itu tidak harus dilaksanakan. Hal ini karena akad ini tempat sebagai amanat tanpa jaminan selama pengelola modal tersebut tidak menyeleweng.
b.     Jumlah modal harus diketahui dengan jelas.
c.      Modalnya harus ada wujudnya ketika mengadakan perjanjian, bukan dalam tanggungan orang lain,karena modal yang ada dalam tangggungan tidak sah, kecuali pemilik modal menitipkan kepasa orang lain sebagai wakil untuk menyerahkan modal tersebut.[11]

D.    Hukum Pelaksanaan Mudharabah
Hukum mudharabah terbagi menjadi dua, yaitu mudharabah sahih dan mudharabah fasid. Kedua jenis mudharabah  ini akan dijelaskan sebgai berikut:[12]
1.     Hukum Mudharabah Fasid
Salah satu contoh mudharabah fasid adalah mengatakan, berburulah dengan jaring saya dan hasil buruannya dibagi diantara kita. “Ulama Hanafiyah, Safi’iyah,Dan Hanabilah berpendapat bahwa pernyataan tersebut termasuk tidak dapat dikatakan mudharabah yang shahih karena pengusaha (pemburu) berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya, baik ia mendapatkan buruan atau tidak.”
Beberapa hal lain dalam mudharabah fasid yang mengharuskan yang mengharuskan pemilik modal memberikan upah kepada pengusaha, antara lain :
a.      Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha dalam membeli, menjual, memberi  atau mengambil barang.
b.     Pemilik modal mengharuskan pengusaha untuk bermusyawarah sehingga pengusaha tidak bekerja, kecuali atas seizinnya.
c.      Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha agar mencampurkan harta modal tersebut dengan harta orang lain atau barang lain miliknya.[13]
2.     Hukum Mudharabah Shahih
Hukum Mudharabah shahih yang tergolong shahih cukup banyak, diantaranya berikut ini :
a.      Tanggung jawab penguasa
Ulama fiqih telah sepakat bahwa pengusaha bertanggung jawab atas modal yang ada di tangannya, yakni sebagai titipan. Hal ini karena kepemilikan modal tersebut atas seizin pemiliknya. Apabila pengusaha beruntung, ia memiliki hak atas laba secara bersama-sama dengan pemilik modal.  Jika mudharabah rusak karena adanya beberapa sebab yang menjadikannya rusak, pengusaha menjadi pedagang sehingga ia pun memiliki hak untuk mendapatkan upah.[14]
b.     Tasharruf pengusaha
Hukum tentang tasharruf pengusaha berbeda-beda bergantung pada mudharabah mutlak atau terikat.
1)     Pada Mudharabah mutlak
Menurut Ulama Hanafiyah, jika mudharabah mutlak, maka pengusaha berhak untuk beraktivitas dengan modal tersebut yang menjurus kepada pendapatan laba, seperti jual-beli. Begitu pula pengusaha dibolehkan untuk membawa modal tersebut dalam suatu perjalanan dengan maksud untuk mengusahakan harta tersebut. Beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pengusaha adalah :
a)     Pengusaha hanya boleh mengusahakan modal setelah ada izin yang jelas dari pemiliknya.
b)     Menurut ulama malikiyah, pengusaha tidak boleh membeli barang dagangan melebihi modal yang diberikan kepadanya
c)     Pengusaha tidak membelanjakan modal selain untuk mudharabah, juga tidak boleh mencampurkannya dengan harta miliknya atau harta milik orang lain.[15]
2)     Pada Mudharabah terikat
Secara umum, hukum yang terdapat dalam mudharabah terikat sama dengan ketetapan yang ada pada mudharabah mutlak. Namun, ada beberapa pengecualian, antara lain :
a)     Penentuan tempat
Jika pemilik modal menentukan tempat, seperti ucapan “Gunakan modal ini untuk mudharabah dengan syarat harus di daerah Tasikmalaya”. Pengusaha harus mengusahakannya di daerah Tasikmalaya, sebab syarat termasuk persyaratan yang dibolehkan.
b)     Penentuan orang
Ulama Hanafiyah dan Hanbaliyah membolehkan pemilik modal untuk menentukan orang yang harus dibeli barangnya oleh pengusaha atau kepada siapa ia harus menjual barang. Adapun ulama syafi’iyah dan Malikiyah melarang persyaratan tersebut sebab hal ini mencegah pengusaha untuk mencari pasar yang sesuai dan menghambat pencarian laba.
c)     Penentuan waktu
Ulama Hanafiyah dan hanbaliyah membolehkan pemilik modal menentukan waktu sehingga jika melewati batas, akad batal. Adapun ulama syafi’iyah dan malikiyah melarang persyaratan tersebut sebab terkadang laba tidak dapat diperoleh dalam waktu sebentar dan terkadang dapat diperoleh pada waktu tertentu.[16]

3.     Hak-hak pengusaha (al-mudharib)
Pengusaha memiliki dua hak atas harta mudharabah, yaitu nafkah (menggunakan untuk keperluannya) dan hak laba yang telah ditentukan dalam akad.
a.      Hak nafkah (membelanjakan)
Para ulama berbeda pendapat dalam hak nafkah modal atau harta mudharabah. Secara umum, pendapat mereka dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu[17]:
1)     Imam Syafi’i, menurut riwayat paling akhir, bependapat bahwa pengusaha tidak boleh menafkahkan modal untuk dirinya, kecuali atas seizin pemilik modal sebab pengusaha akan memiliki keuntungan dari laba. Jika pengusaha mensyaratkan kepada pemilik modal agar dibolehkan menggunakan modal untuk keperluanya, akad menjadi rusak.
2)     Jumhur Ulama, diantaranya Imam Mali, Imam Hanafi, dan Imam Zaidiyah berpendapat bahwa pengusaha berhak menafkahkan harta mudharabah dalam perjalanan untuk keperluanya, seperti pakaian, makanan dan lain-lain. Hanya saja menurut Imam Malik, hal ini bisa dilakukan jika modal yang ada memang mencukupi untuk itu.
3)     Ulama Hanabilah membolehkan pengusaha untuk menakafkan harta untuk keperluanya, baik pada waktu menetap maupun dalam perjalanan jika diisyaratkan pada waktu akad. Dengan demikian, tidak boleh menakafkan modal.
Diantara alasan para ulama membolehkan pengusaha untuk membelanjakan modal mudharabah untuk keperluan antara lain, jika modal boleh dinafkahkan, dikhawatirkan manusia tidak mau mudharabah sebab kebituhn mereka cukup banyak ketika mudharabah.
Belanja yang diblehkan menurut pendapat ulama Hanafiyahm adalah kebutuhan sehari-hari seperti makan, minum, pakaian, dan lain-lain, dengan syarat tidak berlebih-lebihan (isyraf). Belanja tersebut kemudian dikurangkan dari laba. Jika tidak ada laba, diambil dari modal.[18]
b.     Hak mendapatkan laba
Pengusaha berhak mendapatkan bagian dari sisa laba sesuai dengan ketetapan dalam akad, jika usahanya mendapatakan laba. Jika tidak, ia tidak mendapatkan apa-apa sebab ia bekerja untuk dirinya sendiri. Dalam pembangian laba, di isyaratkan setelahn modal diambil.
c.      Hak pemilik modal
Hak bagi pemilik modal adalah mengambil bagian laba jika menghasilkan laba. Jika tidak ada laba, pengusaha tidak mendapatkan apa-apa.[19]

E.    Hal-Hal Yang Membatalkan Mudharabah
1.     Perkara, Larangan Berusaha, dan Pemecatan
Mudaharabah menjadi batal dengan adanya pembatalan mudharabah, larangan untuk mengusahakan (tasharuf) dan pemecatan. Semua ini jika memenuhi syarat pembatalan dan larangan, yakni orang yang melakukan akad mengetahui pembatalan dan larangan, orang yang melakukan akad mengetahi pembatalan dan pemecatan tersebut, serta modal telah diserahkan  ketika pembatalan atau larangan.
2.     Seorang Aqid Meninggal Dunia
Jumhur ulama berpendapat bahwa jumhur batal, jika salah seorang akad meninggal dunia  baik pemilik modal  maupun pengusaha. Sedangkan ulama Malikiyah berpendapat bahwa mudharabah tidak batal dengan meninggalnya  salah seorang akad, tetapi dapat diserahkan kepada ahli warisnya jika dapat dipercaya.
3.     Salah Seorang Aqid Gila
Ahwa gila membatalkan mudharabah, sebab gila atau sejenisnya membatalkan keahlian dalam mudharabah.
4.     Pemilik Modal Rusak
Apabila pemilik modal murtad (keluar dari agama Islam) atau terbunuh dalam keadaan murtad, atau tergabung dengan musuh karena diputuskan oleh hakim atas pemberontakan hal itu membatalkan mudharabah sebab bergabung dengan musuh sama saja dengan mati.
5.     Modal Rusak Ditangan Pengusaha
Jika harta rusak sebelum dibelanjakan, mudharabah menjadi batal. Hal ini karena modal harus dipegang oleh pengusaha. Jika modal, mudharabah batal. Begitupula mudharabah dianggap rusak jika modal diberikan kepada  orang lain atau dihabiskan sehingga tidak tersisa  untuk diusahakan.[20]

F.     Aplikasi Mudharabah Dalam Lembaga Keuangan Syariah
Mudharabah dalam perbankan syari’ah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana mudharabah diterapkan pada:
1.     Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, yaitu seperti tabungan haji, dan tabungan kurban, dan sebagainya.
2.     Diposito special (special investment), dimana dana yang dititipkan nasabah, khusus untuk bisnis tertentu, misalnya saja dalam murabahah ataupun ijarah saja.
Sedangkan pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk:
1.     Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa;
2.     Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul maal.[21]
Mudharabah juga dapat dilakukan dengan memisahkan atau mencampurkan dana mudharabah. Seperti dalam penjelasan dibawah ini, yaitu:
1.     Dana harta-harta lainnya, pemisahan total antara dana mudharabah termasuk harta mudharib.
Teknik ini memiliki kelebihan dan kekurangan, kelebihan dari teknik ini ialah bahwa pendapatan dan biaya dapat dipisahkan dari masing-masing dana dan dapat dihitung dengan tepat. Selain itu, keuntungan atau kerugian dapat dihitung dan dialokasikan dengan benar. Sedangkan kekurangan teknik ini terutama menyangkut masalah moral hazard dan preferensi invertasi seorang mudharib.
3.     Dana mudharabah dicampur dan disatukan dengan sumber-sumber dana lainnya. Syistem ini pendapatan dan biaya mudharabah tercampur dengan pendapatan dan biaya lainnya.[22]



[1] Rahmad Syafe’i, Fiqh Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia), 2001, hlm. 223-224
[2] Hendi suhendi, Fiqh Muamalah,  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 2002 Hlm.135-138
[3] Siah Khosyi’ah, Fiqh Muamalah Perbandingan, (Bandung:Pustaka Setia),2 014 Hlm.151
[4] Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia,(Jakarta: Salemba Empat), 2014, hlm. 131
[5] Ibid.  132
[6] Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia,(Jakarta: Salemba Empat), 2014, hlm. 132
[7] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2002), hlm. 196
[8] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2002).Hlm.139-140.
[9] Siah Khosyi’ah, Fiqh Muamalah Perbandingan,(Bandung : Pustaka Setia, 2014).Hlm.156
[10] Ibid.157-159
[11]Siah Khosyi’ah, Fiqh Muamalah Perbandingan,(Bandung : Pustaka Setia, 2014).Hlm.160-164.
[12] Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia), 2001, hlm. 229

[13] Ibid. 229-230
[14] Ibid. 230

[15] Ibid. 231
[16]Ibid. 231-232
[17] Ibid. 233
[18] Ibid. 234
[19] Ibid. 235
[20] Rahmad Syafe’i, Fiqh Muamalah,(Bandung: CV Pustaka Setia), 2001, hlm. 237-238
[21] Muhammad Syfi’i Antonio, Bank syari’ah, (Jakarta: Gema Insani Press), 2001, hlm. 96
[22] Muhammad Syfi’i Antonio, Bank syari’ah, (Jakarta: Gema Insani Press), 2001, hlm. 96

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengertian, rukun dan syarat , impementasi Wakalah dan Murabahah

A.     Wakalah 1.      Pengertian Wakalah Perwakilan (wakalah) adalah al-wakalah atau al –wikalah. Menurut bahasa artinya al hifdz,...