BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mudharabah
Mudharabah atau giradh termasuk salah satu bentuk akad syirkah (perkongsian).
Istilah mudharabah digunakan oleh orang Irak, sedangkan orang Hijaz
menyebutnya dengan istilah qiradh. Dengan demikian, mudhorobah dan
qiradh adalah dua istilah untuk maksud yang sama.
Menurut bahasa, qiradh (اَلْقِرَاضُ) diambil dari kata اَلْقَرْضُ yang berarti اَلْقَطْعُ (potongan),
sebab pemilik memberikan potongan dari hartanya untuk diberikan kepada
pengusaha agar mengusahakan harta tersebut dan pengusaha akan memberikan
potongan dari laba yang diperoleh. Juga diambil dari kata muqaradhah (اَلْمُقَارَضَةُ) yang berarti اَلْمُسَاوَاةُ
(kesamaan),
sebab pemilik modal dan pengusaha memiliki hak yang sama terhadap laba. Orang
Irak menyebutnya dengan istilah mudharabah (
اَلْمُضَارَبَةُ) sebab كُلٌّ
مِنَ الْعَاقِدَيْنِ يَضْرِبُ بِسَهْمِ الرِّبَحِ (setiap yang
melakukan akad memiliki bagian dari laba), atau pengusaha harus mengadakan
perjalanan dalam mengusahakan harta modal tersebut . perjalanan tersebut
dinamakan:ضَرْبًافِى السَّفَرِ[1]
Jadi menurut bahasa, mudharabah
atau qiradh berarti al-qath’u (potongan), berjalan, dan atau
berpergian.
Menurut istilah, mudharabah atau qiradh dikemukakan oleh para ulama
sebagai berikut :
1.
Ulama
Syafi’iyah berpendapat bahwa mudharabah ialah :
“Akad
yang menetukan seseorang menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk
ditijarahkan”.
2.
Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa mudharabah ialah :
“Akad
perwakilan, dimana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk
diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (mas dan perak)”.
3.
Syaikh
Syihab al-Din al-Qalyubi dan Umairah berpendapat bahwa mudharabah ialah :“Seseorang
menyerahkan harta kepada yang lain untuk ditijarahkan dan keuntungan
bersama-sama.”
Setelah
diketahui beberapa pengertian yang dijelaskan oleh para ulama di atas, kiranya
dapat dipahami bahwa mudharabah atau qiradh ialah akad antara
pemilik modal (harta) dengan pengelola modal tersebut, dengan syarat bahwa keuntungan
diperoleh dua belah pihak sesuai jumlah kesepakatan.[2]
Mudharabah adalah akad kerja sama dalam bentuk usaha dari yang memiliki modal
(shahib al-maal) dengan pengelola modal (shabibu al-maal) dalam
bentuk usaha perdangangan, perindustrian, dan sebagainya. Dengan keuntungan
dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama, misalnya dibagi dua, dibagi tiga,
atau dibagi empat. [3]
B.
Dasar Hukum Mudharabah
Menurut Ijma Ulama, mudharabah hukumnya
jaiz. Hal ini dapat diambil dari kisah Rasulullah yang pernah melakukan mudarabah
dengan Siti Khadijah. Siti Khadijah bertindak sebagai pemilik dana
Rasulullah sebgai pengelola dana. Lalu Rasulullah membawa barang dagangannya ke
negeri Syam. Dari kisah ini kita lihat akad mudharabah telah terjadi
pada masa Rasulullah sebelum diangkat menjadi Rasul. Mudharabah telah
dipraktikkan secara luas oleh orang-orang sebelum masa Islam dan beberapa
sahabat Nabi Muhammad SAW. Jenis bisnis ini sangat selaras dengan prinsip dasar
ajaran syariah, oleh karena itu akad ini diperbolehkan secara syariah.[4]
1. Al-Quran
فَاِذَاقُضِيَتِالصَّلَاةُفَانْتَشِرُوْافِى
لْأَرْضِوَابْتَغُوْامِنْ فَضْلِ اللهِ... ۞الجمعة۞
“Apabila telah ditunaikan
shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah SWT”. (Q.S. 62:10)
..فَإِنْ
أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ،
وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ…
“.... maka, jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menuaikakan
amanatnya dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya...”[5]
2.
As-Sunnah
Sebelum Rasulullah diangkat menjadi Rasul, Rasulullah pernah
melakukan Mudharabah dengan Khadijah, dengan modal dari Khadijah. Beliau
pergi ke Syam dengan membawa modal tersebut untuk diperdagangkan.
قَالَ
رَسُوُّلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُ
الْبَيْعُ إِلىَ اَجَلٍ وَاْلمقَارَضَةُ وَاَخْلاَطُ الْبُرِّ بِاالشَّعِيْرِ
لِلْبَيْتِ لاَلِلْبَيْعِ
Rasulullah
saw bersabda: “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan, yaitu
jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah) dan mencampuradukkan gandum putih dengan jewawut untuk keperluan
rumah tangga bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)
كَانَ
سَيِّدِنَا الْعَبَّاسُ بْنِ عَبْدِاْلمُطَلِّبِ اِذَا دَفَعَ الْمَالَ
مُضَارَبَةً اِشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ اَنْ لَا يَسْلُكَ بِهِ بَحْرًا, وَلَا
يَنْزِلَ بِهِ وَادِيًا وَلَا يَشْتَرِيَ بِهِ دَابَّةً ذَاتَ كَبِدٍ رَطْبَةٍ
فَإِ نْ فَعَلَ ذَلِكَ ضَمِنَ فَبَلَغَ شَرْتُهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَا‘لِهِ وَ سَلَّم فَأَ جَازُهُ
“Abbas bin
Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai
Mudharabah, ia mensyaratkan kepada pengelola dananya agar tidak
mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak.
Jika persyaratan itu dilanggar, ia (pengelola dana) harus menanggung resikonya.
Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar
Rasulullah, beliau membenarkannya”. (HR.
Thabrani dari Ibnu Abbas)[6]
C.
Rukun Dan Syarat Mudharabah
Rukun dan syarat-syarat mudharabah menurut para ulama,
sebagai berikut:
1.
Menurut ulama Syafi’i
Menurut
ulama Syafi’i rukun-rukun mudharabah yang harus dipenuhi yaitu:
a.
Pemilik
barang yang menyerahkan barang-barangnya.
b.
Orang
yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang.
c.
Aqad
mudharobah, dilakukan oleh pemilik dengan
pengola barang.
d.
Mal, yaitu harta pokok atau modal.
e.
Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba.
f.
Keuntungan.[7]
Syarat-syarat sah mudharabah menurut ulama Syafi’i yaitu:
a.
Modal
atau barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai.Apabila barang itu berbentuk
mas atau perak batangan (tabar), mas hiasan atau barang dagangannlainnya,
mudharabah tersebut batal
Bagi
orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasharruf, maka
dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil,orang gila, dan orang-orang yang
berada dibawah pengampuan.
Modal
harus di ketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang
diperdagangkan dengan laba atau keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan
dibagikan kepada dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
b.
Melafadzkan
ijab dari pemilik modal, misalnya aku serahkan uang ini kepadamu untuk dagang
jika ada keuntungan akan dibagi dua dan kabul dari pengelola.
c.
Mudharabah bersifat mutlak pemilik modal tidakmrngikut pengelola harta untuk
berdagang dinegara tertentu, pada waktu-waktu tertentu sementara diwaktu lain tidak karena
persyaratan yang mengikat serng menyimpang dari tujuan akad mudharabah,
yaitu keuntungan. Bila dalam mudharabah ada persyaratan-persyaratan,
maka mudhrabah tersebut tidak rusak (fasid) menurut pendapat al-syafi’i dan
malik. Sedangkan menurut Abu Hanafiah dan Ahmad Ibn Hanbal, mudharabah
tersebut sah.[8]
2.
Menurut ulama Hanafiyah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun-rukun mudharabah ialah ijab
dan qobul. Ijab kabul itu menggunakan lafadz yang menunjukan makna yang
dimaksud. Misalnya, perkataan pemilik modal kepada mudhorif“ambilah uang ini
dan jalankan dengan mudhorobah, muqaradhah atau bentuk transaksi lainnya atau
ambila uang ini untuk mudhorobah dengan ketentuan Allah memberikan laba kepada
kita, masing-masing kita menerima separuh, sepertiga, atau dua pertiga..” Lalu
dijawab oleh mudhorif “kami
ambil,kami setujui, atau kamu terima”.
Syarat-syarat
Mudharabah menurut Hanafiyah, adalah sebagai berikut:
a.
Modalnya
berupa mata uang yang berlaku menurut ketentuan hukum negara sebagai alat
transaksi.
b.
Besarnya
modal harus jelas jumlahnya ketika terjadi proses transaksi.
c.
Modalnya
harus ada pada pemilik ketika transaksi maka tidak sah mudharabah utang yang
diberikan kepada mudharif.
d.
Bagian
keuntungan pengelola modal harus jelas.
e.
Bagian
keuntungan yang dijanjika untuk pengelola modal diambil dari keuntungan,bukan
modal.[9]
3.
Menurut ulama Malikiyah
Menurut
ulama Malikiyah rukun-rukun yang harus dipenuhi mudharabah yaitu:
a.
Modal
(ra’su mal)
b.
Amal
(bentuk usaha atau pekerjaan)
c.
Laba
d.
Pihak
yang mengadakan perikatan
e.
Sighat.
Syarat-syarat mudharabah menurut ulama Malikiyah :
a.
Penyerahan
modal kepada pengelola modal harus dilakukan dengan sdegera.
b.
Modal
harus diketahui jumlahnya secara jelas ketika perjanjian dilaksanakan.
c.
Pembagian
keuntungan harus jelas disebutkan dalam perjanjian.
d.
Modal
harus dikelola oleh pengelola modal.[10]
4.
Menurut Ulama Hanabilah
Rukun
mudharabah ialah ijab dan kabul dengan menggunakan lafadz yang
menunjukan arti mudharabah. Ijab mudharabah tidak harus disyaratkan
dengan lafadh sebagaimana persyaratan dalam perwailan.
Syarat-syarat
mudharabah menurut Ulama Hanabilah yaitu:
a.
Diterangkan
dengan keuntungan untuk mengelola modal ,misalnya setengah, sepertiga, dan
seterusnya. Apabila pemilik modal mensyaratkan kepada pengelola agar
bertanggung jawab atas uang yang ada padanya, syarat itu tidak harus
dilaksanakan. Hal ini karena akad ini tempat sebagai amanat tanpa jaminan
selama pengelola modal tersebut tidak menyeleweng.
b.
Jumlah
modal harus diketahui dengan jelas.
c.
Modalnya
harus ada wujudnya ketika mengadakan perjanjian, bukan dalam tanggungan orang
lain,karena modal yang ada dalam tangggungan tidak sah, kecuali pemilik modal
menitipkan kepasa orang lain sebagai wakil untuk menyerahkan modal tersebut.[11]
D.
Hukum Pelaksanaan Mudharabah
Hukum mudharabah terbagi
menjadi dua, yaitu mudharabah sahih dan mudharabah fasid. Kedua
jenis mudharabah ini akan
dijelaskan sebgai berikut:[12]
1.
Hukum Mudharabah Fasid
Salah satu contoh mudharabah fasid adalah mengatakan,
berburulah dengan jaring saya dan hasil buruannya dibagi diantara kita. “Ulama Hanafiyah,
Safi’iyah,Dan Hanabilah berpendapat bahwa pernyataan tersebut termasuk tidak
dapat dikatakan mudharabah yang shahih karena pengusaha (pemburu) berhak
mendapatkan upah atas pekerjaannya, baik ia mendapatkan buruan atau tidak.”
Beberapa
hal lain dalam mudharabah fasid yang mengharuskan yang mengharuskan pemilik
modal memberikan upah kepada pengusaha, antara lain :
a.
Pemilik
modal memberikan syarat kepada pengusaha dalam membeli, menjual, memberi atau mengambil barang.
b.
Pemilik
modal mengharuskan pengusaha untuk bermusyawarah sehingga pengusaha tidak
bekerja, kecuali atas seizinnya.
c.
Pemilik
modal memberikan syarat kepada pengusaha agar mencampurkan harta modal tersebut
dengan harta orang lain atau barang lain miliknya.[13]
2.
Hukum Mudharabah Shahih
Hukum
Mudharabah shahih yang tergolong shahih cukup banyak, diantaranya berikut ini :
a.
Tanggung
jawab penguasa
Ulama fiqih telah sepakat bahwa pengusaha bertanggung jawab atas
modal yang ada di tangannya, yakni sebagai titipan. Hal ini karena kepemilikan
modal tersebut atas seizin pemiliknya. Apabila pengusaha beruntung, ia memiliki
hak atas laba secara bersama-sama dengan pemilik modal. Jika mudharabah rusak karena adanya beberapa
sebab yang menjadikannya rusak, pengusaha menjadi pedagang sehingga ia pun
memiliki hak untuk mendapatkan upah.[14]
b.
Tasharruf
pengusaha
Hukum tentang tasharruf pengusaha berbeda-beda bergantung pada
mudharabah mutlak atau terikat.
1)
Pada Mudharabah mutlak
Menurut Ulama
Hanafiyah, jika mudharabah mutlak, maka pengusaha berhak untuk beraktivitas
dengan modal tersebut yang menjurus kepada pendapatan laba, seperti jual-beli.
Begitu pula pengusaha dibolehkan untuk membawa modal tersebut dalam suatu
perjalanan dengan maksud untuk mengusahakan harta tersebut. Beberapa hal yang
perlu dilakukan oleh pengusaha adalah :
a)
Pengusaha
hanya boleh mengusahakan modal setelah ada izin yang jelas dari pemiliknya.
b)
Menurut
ulama malikiyah, pengusaha tidak boleh membeli barang dagangan melebihi modal
yang diberikan kepadanya
c)
Pengusaha
tidak membelanjakan modal selain untuk mudharabah, juga tidak boleh
mencampurkannya dengan harta miliknya atau harta milik orang lain.[15]
2)
Pada Mudharabah terikat
Secara
umum, hukum yang terdapat dalam mudharabah terikat sama dengan ketetapan yang
ada pada mudharabah mutlak. Namun, ada beberapa pengecualian, antara
lain :
a)
Penentuan
tempat
Jika pemilik modal menentukan tempat, seperti ucapan “Gunakan
modal ini untuk mudharabah dengan syarat harus di daerah Tasikmalaya”.
Pengusaha harus mengusahakannya di daerah Tasikmalaya, sebab syarat termasuk
persyaratan yang dibolehkan.
b)
Penentuan
orang
Ulama Hanafiyah dan Hanbaliyah membolehkan pemilik modal untuk
menentukan orang yang harus dibeli barangnya oleh pengusaha atau kepada siapa
ia harus menjual barang. Adapun ulama syafi’iyah dan Malikiyah melarang
persyaratan tersebut sebab hal ini mencegah pengusaha untuk mencari pasar yang
sesuai dan menghambat pencarian laba.
c)
Penentuan
waktu
Ulama Hanafiyah dan hanbaliyah membolehkan pemilik modal menentukan
waktu sehingga jika melewati batas, akad batal. Adapun ulama syafi’iyah dan
malikiyah melarang persyaratan tersebut sebab terkadang laba tidak dapat
diperoleh dalam waktu sebentar dan terkadang dapat diperoleh pada waktu
tertentu.[16]
3.
Hak-hak pengusaha (al-mudharib)
Pengusaha memiliki dua hak atas harta mudharabah, yaitu nafkah
(menggunakan untuk keperluannya) dan hak laba yang telah ditentukan dalam akad.
a.
Hak
nafkah (membelanjakan)
Para ulama berbeda pendapat dalam hak nafkah modal atau harta
mudharabah. Secara umum, pendapat mereka dapat dibagi menjadi tiga golongan,
yaitu[17]:
1)
Imam
Syafi’i, menurut riwayat paling akhir, bependapat bahwa pengusaha tidak boleh
menafkahkan modal untuk dirinya, kecuali atas seizin pemilik modal sebab
pengusaha akan memiliki keuntungan dari laba. Jika pengusaha mensyaratkan
kepada pemilik modal agar dibolehkan menggunakan modal untuk keperluanya, akad
menjadi rusak.
2)
Jumhur
Ulama, diantaranya Imam Mali, Imam Hanafi, dan Imam Zaidiyah berpendapat bahwa
pengusaha berhak menafkahkan harta mudharabah dalam perjalanan untuk
keperluanya, seperti pakaian, makanan dan lain-lain. Hanya saja menurut Imam
Malik, hal ini bisa dilakukan jika modal yang ada memang mencukupi untuk itu.
3)
Ulama
Hanabilah membolehkan pengusaha untuk menakafkan harta untuk keperluanya, baik
pada waktu menetap maupun dalam perjalanan jika diisyaratkan pada waktu akad.
Dengan demikian, tidak boleh menakafkan modal.
Diantara alasan
para ulama membolehkan pengusaha untuk membelanjakan modal mudharabah untuk
keperluan antara lain, jika modal boleh dinafkahkan, dikhawatirkan manusia
tidak mau mudharabah sebab kebituhn mereka cukup banyak ketika mudharabah.
Belanja yang diblehkan menurut pendapat ulama Hanafiyahm adalah
kebutuhan sehari-hari seperti makan, minum, pakaian, dan lain-lain, dengan
syarat tidak berlebih-lebihan (isyraf). Belanja tersebut kemudian
dikurangkan dari laba. Jika tidak ada laba, diambil dari modal.[18]
b.
Hak
mendapatkan laba
Pengusaha berhak mendapatkan bagian dari sisa laba sesuai dengan
ketetapan dalam akad, jika usahanya mendapatakan laba. Jika tidak, ia tidak
mendapatkan apa-apa sebab ia bekerja untuk dirinya sendiri. Dalam pembangian
laba, di isyaratkan setelahn modal diambil.
c.
Hak
pemilik modal
Hak bagi pemilik modal adalah mengambil bagian laba jika
menghasilkan laba. Jika tidak ada laba, pengusaha tidak mendapatkan apa-apa.[19]
E.
Hal-Hal Yang Membatalkan Mudharabah
1.
Perkara, Larangan Berusaha, dan Pemecatan
Mudaharabah menjadi batal dengan adanya pembatalan mudharabah,
larangan untuk mengusahakan (tasharuf) dan pemecatan. Semua ini jika
memenuhi syarat pembatalan dan larangan, yakni orang yang melakukan akad
mengetahui pembatalan dan larangan, orang yang melakukan akad mengetahi
pembatalan dan pemecatan tersebut, serta modal telah diserahkan ketika pembatalan atau larangan.
2.
Seorang Aqid Meninggal Dunia
Jumhur
ulama berpendapat bahwa jumhur batal, jika salah seorang akad meninggal
dunia baik pemilik modal maupun pengusaha. Sedangkan ulama Malikiyah
berpendapat bahwa mudharabah tidak batal dengan meninggalnya salah seorang akad, tetapi dapat diserahkan
kepada ahli warisnya jika dapat dipercaya.
3.
Salah Seorang Aqid Gila
Ahwa
gila membatalkan mudharabah, sebab gila atau sejenisnya membatalkan
keahlian dalam mudharabah.
4.
Pemilik Modal Rusak
Apabila
pemilik modal murtad (keluar dari agama Islam) atau terbunuh dalam keadaan
murtad, atau tergabung dengan musuh karena diputuskan oleh hakim atas
pemberontakan hal itu membatalkan mudharabah sebab bergabung dengan
musuh sama saja dengan mati.
5.
Modal Rusak Ditangan Pengusaha
Jika
harta rusak sebelum dibelanjakan, mudharabah menjadi batal. Hal ini
karena modal harus dipegang oleh pengusaha. Jika modal, mudharabah
batal. Begitupula mudharabah dianggap rusak jika modal diberikan
kepada orang lain atau dihabiskan
sehingga tidak tersisa untuk diusahakan.[20]
F.
Aplikasi Mudharabah Dalam Lembaga Keuangan Syariah
Mudharabah dalam perbankan syari’ah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan
pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana mudharabah
diterapkan pada:
1. Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus,
yaitu seperti tabungan haji, dan tabungan kurban, dan sebagainya.
2. Diposito special (special investment), dimana dana yang dititipkan
nasabah, khusus untuk bisnis tertentu, misalnya saja dalam murabahah
ataupun ijarah saja.
Sedangkan pada sisi
pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk:
1. Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa;
2. Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah, dimana sumber
dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah
ditetapkan oleh shahibul maal.[21]
Mudharabah juga dapat dilakukan
dengan memisahkan atau mencampurkan dana mudharabah. Seperti dalam
penjelasan dibawah ini, yaitu:
1. Dana harta-harta lainnya, pemisahan total antara dana mudharabah termasuk
harta mudharib.
Teknik ini memiliki
kelebihan dan kekurangan, kelebihan dari teknik ini ialah bahwa pendapatan dan
biaya dapat dipisahkan dari masing-masing dana dan dapat dihitung dengan tepat.
Selain itu, keuntungan atau kerugian dapat dihitung dan dialokasikan dengan
benar. Sedangkan kekurangan teknik ini terutama menyangkut masalah moral hazard
dan preferensi invertasi seorang mudharib.
3. Dana mudharabah dicampur dan disatukan dengan sumber-sumber dana lainnya. Syistem
ini pendapatan dan biaya mudharabah tercampur dengan pendapatan dan
biaya lainnya.[22]
[1] Rahmad
Syafe’i, Fiqh Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia), 2001, hlm. 223-224
[2] Hendi suhendi,
Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada), 2002 Hlm.135-138
[3] Siah
Khosyi’ah, Fiqh Muamalah Perbandingan, (Bandung:Pustaka Setia),2 014
Hlm.151
[4] Sri Nurhayati
dan Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia,(Jakarta: Salemba Empat),
2014, hlm. 131
[5] Ibid. 132
[6] Sri Nurhayati
dan Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia,(Jakarta: Salemba Empat),
2014, hlm. 132
[7] Hendi Suhendi,
Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2002), hlm. 196
[8] Hendi Suhendi,
Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2002).Hlm.139-140.
[9] Siah
Khosyi’ah, Fiqh Muamalah Perbandingan,(Bandung : Pustaka Setia,
2014).Hlm.156
[10] Ibid.157-159
[11]Siah Khosyi’ah,
Fiqh Muamalah Perbandingan,(Bandung : Pustaka Setia, 2014).Hlm.160-164.
[12] Rachmat
Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia), 2001, hlm. 229
[13] Ibid.
229-230
[14] Ibid. 230
[15] Ibid. 231
[16]Ibid. 231-232
[17] Ibid. 233
[18] Ibid. 234
[19] Ibid. 235
[20] Rahmad
Syafe’i, Fiqh Muamalah,(Bandung: CV Pustaka Setia), 2001, hlm. 237-238
[21] Muhammad
Syfi’i Antonio, Bank syari’ah, (Jakarta: Gema Insani Press), 2001, hlm.
96
[22] Muhammad
Syfi’i Antonio, Bank syari’ah, (Jakarta: Gema Insani Press), 2001, hlm. 96
Tidak ada komentar:
Posting Komentar