BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PROFIT
SHARING
Profit
sharing menurut etimologi Bahasa Indonesia adalah bagi keuntungan. Secara definitif profit sharing diartikan sebagai “Distribusi
beberapa bagian dari laba pada para pegawai dari suatu perusahaan” Dalam kamus ekonomi diartikan sebagai
pembagian laba. Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total
pendapatan suatu perusahaan lebih besar dari biaya total.[1]Di dalam istilah lain profit sharing adalah perhitungan bagi
hasil didasarkan kepada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi
dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Pada perbankan syariah istilah yang sering
dipakai adalah profit and loss sharing, di mana hal ini dapat diartikan
sebagai pembagian antara untung dan rugi dari pendapatan yang diterima atas
hasil usaha yang telah dilakukan.
Sistem profit and loss
sharing dalam pelaksanaannya merupakan bentuk dari perjanjian kerjasama antara
pemodal (Investor) dan pengelola modal (enterpreneur) ditanggung bersama sesuai porsi masing-masing.
Kerugian bagi pemodal tidak mendapatkan kembali modal investasinya secara utuh
ataupun keseluruhan, dan bagi pengelola modal tidak mendapatkan upah atau hasil
dari jerih payahnya atas kerja yang telah dilakukannya.
Keuntungan yang didapat
dari hasil usaha tersebut akan dilakukan pembagian setelah dilakukan
perhitungan terlebih dahulu atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan selama
proses usaha. Keuntungan usaha dalam dunia bisnis bisa negatif, artinya usaha
tersebut merugi, dan positif berarti ada angka lebih, sisa dari pendapatan
dikurangi biaya-biaya, dan nol artinya antara pendapatan dan biaya menjadi
balance.[2]
Konsep profit sharing atau bagi hasil dapat dengan mudah dijumpai dalam
praktek masyarakat Islam pada masa Rasulullah dan sahabat hingga masyarakat
muslim saat ini. Secara sederhana dapat
dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan bagi hasil adalah perjanjian pengolahan
tanah, dengan upah sebagian dari hasil yang diperoleh dari pengolahan tanah
itu.
B.
KONSEP PERHITUNGAN BAGI HASIL DAN MARGIN LABA
Dana yang telah di
kumpulkan oleh bank islam dari titipan dana pihak ketiga atau titipan lainnya,
di kelola dengan penuh amanah dan istiqomah. Dengan harapan dana tersebut
mendatangkan keuntungan besar, baik untuk nasabah mau pun Bank Islam. Prinsip
utama yang harus di kembangkan Bank Islam dalam kaitannya dengan manajemen dana adalah, bahwa : Bank Islam
harus mampu memberikan bagi hasil kepada penyimpan dana minimal sama dengan
atau lebih besar dari suku bunga yang berlaku di bank Konvensional, dan mampu menarik
bagi hasil dari debitur yang berlaku di Bank Konvensional.
Oleh karena itu, upaya
manajemen dana Bank Islam perlu dilakukan secara baik. Baiknya manajemen dana
yang di lakukan Bank Islam akan menunjukkan kredibilitas di depan
kepercayaan masyarakat untuk menyimpan dananya. Sehingga, arah untuk mencapai :
likiuditas, rentabilitas dan solvabilitas Bank Islam dapat tercapai
1. Perhitungan Bagi Hasil Bagi Deposan
Bagi keuntungan atau
bagi hasil merupakan ciri utama bagi Lembaga Keuangan Tanpa Bunga atau Bank
Islam. Bagi hasil, sering disebut orang sebagai pengganti nama “bunga”.
Untuk menjawab perihal ini, marilah kita coba menganalisis perhitungan bagi
hasil. Melalui ilustrasi pada pembahasan berikut ini akan memberikan gambaran
riil letak perbedaan antara system bagi hasil dengan system bunga, sebagai
berikut :
a. Contoh kasus : (Bank Bagi Hasil)
Bapak A memilikim deposito Rp. 10 juta, jangka waktu
satu bulan (1 Desember 1995 s/d 1 Januari 1996), dan nisbah bagi hasil antara
nasabah dan bank 57% : 43%. Jika keuntungan bank yang di peroleh untuk deposito
satu bulan per 31 Desember 1996 adalah Rp20 juta dan rata-rata deposisto
jangka waktu 1 bulan adalah Rp950 juta, berapa keuntungan yang diperoleh Bapak
A?
Jawab :
Keuntungan yang
diperoleh Bapak A adalah :
(Rp10 juta / Rp950
juta) x Rp20 juta x 57% = Rp120.000
b. Contoh kasus (Bank Konvensional)
Pada tanggal1 Desember 1994, Bapak B membuka deposito
sebesar Rp10 juta, jangka waktu satu bulan, dengan tingkat buga 9% p.a berapa
bunga yang diperoleh pada saat jatuh tempo?
Jawab :
Bunga yang di perolh
Bapak B adalah :
(Rp10 juta x 31 hari x
9%)/365 hari =Rp76.438[3]
Dari contoh di
atas dapat di simpulkan bahwa pada dasarnya, bank bagi hasil memberi keuntungan
kepada deposan dengan pendekatan Financing to Deposito Rate (FDR),
sedangkan bank konvensional dengan pendekata biaya. Artinya, dalam menghitung
pendapatan, bank bagi hasil menimbang rasio antara dana pihak ketiga dan
pembiayaan yang di berikan, serta pendapatan yang dihasilkan dari perpaduan dua
factor tersebut. Sedangkan bank konvensional langsung menganggap semua bunga
yang diberikan adalah biaya, tanpa memperhitungkan berapa pendapatan yang
dapat dihasilkan dari dana yang dihimpun tersebut.
C.
JENIS-JENIS AKAD PROFIT SHARING
Secara umum, prinsip profit
sharing (bagi hasil) dalam Perbankan Syari’ah dapat dilakukan dalam empat
akad utama, yaitu al-musyarakah, al-mudharabah, al-muzara’ah, dan
al-musaqah.[4]
Akan tetapi, prinsip yang paling banyak dipakai adalah al-musyarakah
dan al-mudharabah, sedangkan al muzara’ah dan al-musaqah dipergunakan
khusus untuk plantation financing atau pembiayaan pertanian oleh
beberapa bank Islam.
Adapun
macam-macam profit sharing yaitu sebagai berikut :
1.
Al-Musyarakah
Musyarakah berasal dari kata Arab syirkah atau syirikah,
berarti kemitraan dalam suatu usaha.[5]
Secara definisi terminolagi, Al-Musyarakah adalah akad kerja sama antara
dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan
bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggungkan bersama sesuai dengan
kesepakatan.[6]
Musyarakah bisa berbentuk sebuah mufawadhah, artinya suatu
kemitraan yang tidak terbatas, tidak tertutup dan sama di mana setiap mitra
menikmati kesamaan yang utuh dalam hal modal, manajemen dan hak pengaturan.
Masing-masing mitra menjadi wakil dan penjamin dari mitra lainnya. Dan bisa
berbentuk syirkah ‘inan, yaitu jenis kemitraan yang terjadi jika dua
pihak atau lebih turut memberikan modal, apakah dengan uang, pikiran atau kerja
(tenaga). Musyarakah al-‘inan ini skupnya terbatas pada usaha tertentu.
Karena kedua mitra berbagi keuntungan dengan cara yang disepakati dan
menanggung kerugian sesuai dengan proporsi kontribusi modal mereka.[7]
Kemitraan-kemitraan yang berdasarkan perjanjian seperti itu dapat
dianggap pantas karena para pihak yang terlibat telah dengan sengaja mengadakan
sebuah kesepakatan untuk melakukan investasi bersama dan berbagi keuntungan
serta resiko. Meskipun musyarakah adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan
kemitraan yang dibangun sebagai sarana untukberbagai macam aktifitas komersial,
namun konsep dasar dari musyarakah juga telah digunakan oleh
institusi-institusi keuangan Islam untuk memberikan dana kepada
perusahaan-perusahaan komersial. Adapun aplikasinya dalam perbankan antara lain
yaitu:
a.
Pembiayaan
Proyek
Al-musyarakah biasanya
diaplikasikan untuk pembiayaan proyek di mana nasabah dan bank sama-sama
menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesi
nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati
untuk bank.
b.
Modal
Ventura
Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi
dalam kepemilikan perusahaan, al-musyarakah diterapkan dalam skema modal
ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu
bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat
maupun bertahap.[8]
Skema al-musyarakah
![]() |
|||||
![]() |
|||||
![]() |
2.
Al-Mudharabah
Kata “mudharabah” dalam bahasa Arab berasal dari kata dharb,
pada kalimat ad-dharbu fil-ardhi yaitu bepergian untuk urusan dagang.[9]
Sedang menurut M. Syafi’i kata dharb berarti memukul atau berjalan.
Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang
memukulkan kakinya dalam menjalankan usahanya. Disebut juga qiradh yang
berasal dari kata al qardhu yang berarti al qath’u (potongan),
karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh
sebagian keuntungan.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, mudharabah adalah
akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan
seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan
usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian
itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan
karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus
bertanggungjawab atas kerugian tersebut. Hal ini dapat dimengerti karena
keuntungan merupakan hasil bersama dari penanaman modal dalam usaha bisnis,
sedang kerugian bukan merupakan hasil dari usaha apapun. Keuntungan adalah
konsekuensi dari kesuksesan usaha bisnis. Dalam hal ini kerugian tidak dapat
dianggap berasal dari suatu usaha bisnis. Dengan kata lain kerugian merupakan
kenyataan yang tidak mungkin memberi tambahan modal meskipun dalam usaha
bisnis.
Jenis perjanjian ini berlawanan dengan musyarakah. Dalam musyarakah
juga ada bagi hasil, tapi semua pihak berhak untuk turut serta dalam
pengambilan keputusan manajerial. Sedang dalam mudharabah, pemilik modal
tidak diberikan peran dalam manajemen perusahaan. Secara umum mudharabah ini
terbagi menjadi dua jenis: mudharabah muthlaqah, dan mudharabah
muqayyadah.
a.
Mudharabah
Muthlaqah
b.
Mudharabah
Muqayyadah
Aplikasi
mudharabah dalam perbankan biasanya diterapkan pada produk-produk
pendanaan dan pembiayaan. Pada sisi penghimpunan dana, mudharabah diterapkan
pada :
a.
Tabungan
berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti
tabungan haji, tabungan kurban, dan sebagainya.
b.
Deposito
Spesial, di mana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu,
misalnya murabahah saja atau ijarah saja.
Adapun
pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk :
a.
Pembiayaan
modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa
b.
Investasi
khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah, di mana sumber dana khusus
dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul
maal.
Skema al-musyarakah




![]() |
3.
Al-Muzara’ah
Al-muzaro’ah adalah kerja
sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik
lahan memberikan lahan pertanian ke pada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara
dengan imbalan bagian tertentu (prosentase) dari hasil panen.[10]
Dalam konteks ini, lembaga keuangan Islam dapat memberikan pembiayaan bagi
hasil nasabah yang bergerak dalam bidang plantation atas dasar prinsip bagi
hasil dari hasil panen.
4.
Al-Musaqah
Al-musaqah adalah bentuk
yang lebih sederhana dari muzaro’ah di mana si penggarap hanya
bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si
penggarap berhakatas nisbah tertentu dari hasil panen.[11]
Sebagai imbalan, mereka memperoleh prosentase tertentu dari hasil panen.
D.
PENDAPAT ULAMA TENTANG BAGI HASIL BANK SYARIAH
Dalam aplikasiannya, prinsip pendapatan diterapkan berdasarkan
pendapat dari syafi’i yang mengatakan bahwa mudharib tidak boleh menggunakan
harta mudhorobah sebagai biaya baik dalam keadaan menetap ataupun bepergian
karena mudhorib telah mendapatkan bagian keuntungan maka ia tidak berhak
mendapatkan sesuatu (nafkah) dari harta itu yang pada akhirnya ia akan mendapat
yang lebih besar dari bagian shahibul maal. Sedangkan untuk profit sharing
diterapkan berdasarkan pendapat dari Abu hanifah, Malik, Zaidiyah yang
mengatakan bahwa mudharib dapat membelanjakan harta mudharabah hanya bila
perdagangannya itu diperjalankan saja baik itu berupa biaya makanan, minumana,
pakaian, dan sebagainya. Hambali mengatakan bahwa mudharib boleh menafkahkan
sebagian dari harta mudharabah baik dalam keadaan menetap atau berpergian
dengan izin shahibul maal, tetapi besarnya nafkah yang boleh digunakan adalah
nafkah yang telah dikenal (menurut kebiasaan) para pedagang dan tidak boros.[12]
E.
ANALISIS PROFIT SHARING BANK SYARIAH
Bank syariah tidak mengenal pinjaman uang tetapi yang ada adalah
kemintraan atau kerja sama dengan prinsip bagi hasil. Sementara pinjaman uang
pada bank syariah hanya dimungkinkan untuk tujuan sosial tanpa ada imbalan
apapun. Produk pembiayaan syariah berupa bagi hasil dikembangkan dalam produk
mudharabah dan musyarakah.
Bank syariah berkeinginan mengembangkan produk pembiayaan bagi
hasil. Namun kondisi masyarakat belum menyediakan iklim yang diinginkan. Hal
ini dpat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal
perbankan syariah.
Secara Internal, kalangan perbankan belum memahami secara baik
tentang konsep dan praktek bagi hasil, karena syarat resiko utamanya berkaitan
dengan pelanggan. Alasan ini muncul disebabkan oleh faktor eksternal bank,
yaitu kondisi masyarakat pengguna jasa pembiayaan bagi hasil, kondisi yang
dimaksud adalah keadaan tingkat kejujuran dan amanah masyarakat dalam
menjalankan pembiayaan bagi hasil.
Kontrak bagi hasil adalah kontrak menanggung untung dan rugi antara
pemilik dana atau bank dan nasabah. Pada hubungan kontrak seperti ini
diperlukan saling keterbukaan antara kedua belah pihak. Karena mereka bersatu
dalam keuntungan dengan pembagian berdasarkan persentase bagi hasil atau
nisbah. Jika proyek mengalami kerugian, maka kerugian akan dibagi berdasarkan
timbulnya kerugian, yaitu jika kerugian terjadi karena resiko bisnis, kerugian
yang terjadi karena kelalaian nasabah, maka kerugian ditanggung oleh nasabah.
Bank syariah merupakan bank dengan prinsip bagi hasil yang
merupakan landasan utama dalam segala operasinya, baik dalam penghimpunan
maupun penyaluran dana. Dari pembiayaan dengan prinsip bagi hasil diperoleh
bagian bagi hasil atau laba sesuai kesepakatan awal atau nisbah bagi hasil
dengan masing-masing nasbah.
Perhitungan bagi hasil tersebut, tentunya dihitung dari persentase
tertentu dari keuntungan yang diperoleh. Hal ini mengandung unsur
ketidakpastian, ada kemungkinan nasabah memperoleh keuntungan atau kerugian.
Ada kemungkinan keuntungan didapatkan berbeda antara satu periode dengan
periode lain. Unsur ketidakpastian dalam usaha atau proyek inilah yang membuat
bank syariah tidak dapat mengakui pendapatan secara accrual basic. Aliran
aktiva yang masuk berupa kas hanya dapat diketahui apabila nasabah benar-benar
telah menyetornya.
Dalam Ikatan Akuntan Indonesia (2007:59), tentang akuntansi
perbankan syariah pada paragraf 162 dijelaskan “bahwa kelompok pendapatan bank
syraiah diantaranya pendapatan operasi utama dan pendapatan operasi lainnya.”
Adapun pendapatan operasi utama diperoleh dari pendapatan jual beli, pendapatan sewa, dan pendapatan daribagi
hasil serta pendapatan operasi lainnya yang diperoleh dari pendapatan
administrasi penyaluran, pendapatan fee atas kegiatan bank yang berbasis
imbalan, diantara pendapatan cash basic .
1.
Pengukuran
Pendapatan
Pada bank
syariah pengukuran pendapatan tidak dapat dilakukan pada saat
transaksiditandatangani karena pendapatan hanya akan diketahui setelah
dilakukan pembagian hasil. Pengakuan pendapatan merupakan hal yang paling sulit
untuk dilakukan karena hal ini mencakup proses penghimpunan dan realisasi
pendapatan. Paton dan Littleton dan Suwardjono (1989:169) menjelaskan bahwa
konsep realisasi sangat berbeda dengan pembentukan pendapatan. Realisasi adalah
konsep teknis akuntansi yang dapat dijadikan dasar untuk menandai pengakuan
pendapatan. Saat pengakuan pendapatan juga merupakan hal yang sangat penting
dalam pengukuran pendapatan.
Menurut Suwardjono
(1989:173) ada 5 saat pengakuan pendaptan, yaitu pendapatan diakui pada saat
kontrak penjualan terjadi dengan nilai kontrak yang pasti tetapi perusahaan
belum mempunyai barang atau jasa yang harus diserahkan, pendapatan diakui
secara bertahap dalam tahap kegiatan produksi proporsional dengan kemajuan
produksi, pendapatan diakui pada saat produk selesai, pengakuan pendapatan saat
produksi selesai, pengakuan pendapatan pada saat penjualan barang atau
penyerahan jasa, dan pengakuan pendapatan pada saat kas diterima.
Setiap laporan
laba rugi dimulai dengan total pendapatan, karena itu diperlukan suatu
pengakuan dan pengukuran pendapatan, karena ada pendapatan yang dapat
direalisasi dan ada pendapatan yang masih dalam proses. Agar dapat dilaporkan
pada laporan keuangan, maka diperlukan suatu pengakuan dan pengukuran
pendapatan. Untuk itu, ada dua macam pengakuan yang umum dikenal yang pertama
yakni pengakuan dengan metode accrual basic yakni pendapatan yang dicatat atau
diakui pada saat pendapatan dihasilkan tanpa memperhatikan kapan pendapatan itu
diterima, yang kedua yakni pengakuan dengan metode cash basic yaitu pendapatan
yang dicatat atau diakui pada saat diterima dan beban diakui pada saat dibayar.
Dalam kaitannya dengan hal pengakuan pendapatan Ikatan Akuntan Indonesia (2007:
No.23) menjelaskan bahwa:”Permasalahan utama dalam akuntansi adalah menentukan
saat pengakuan pendapatan. Pendapatan diakui bila besar kemungkinan manfaat
ekonomi masa depan akan mengalir keperusahaan dan manfaat ini dapat di ukur
dengan andal, pendapatan diakui bila sudah dapat direalisir (realized or
realiable) dan proses untuk memperoleh pendapatan sudah selesai (earned).
Prinsip dasar untuk pengakuan pendapatan adalah bahwa pengakuan harus diakui
ketika diperoleh. Dalam Harahap (2005:41) dikatan bahwa perolehan pendapatan
terjadi apabila syarat-syarat yang berikut ini terpenuhi, diantaranya bank
harus sudah mendapatkan hak untuk menerima pendapatan tersebut, harus ada
kewajiban dipihak lain untuk mengirim sejumlah tertentu atau yang bisa
ditentukan kepada bank, dan jika belum tertagih, jumlah pendapatan harus
diketahaui dan harus bisa ditagih dengan tingkat kepastian yang cukup.
Konsep
pengukuran akuntansi mendefinisikan prinsip-prinsip yang luas untuk menentukan
jumlah dimana unsur-unsur tersebut diakui. Dalam perbankan syariah pengakuan
dan pengukuran pendapatan menjadi permaslahan yang harus diperhatikan karena
ada sedikit perbedaan pada saat pencatatan dan pembagian keuntungan khususnya
pada pendapatan bagi hasil.
Dalam Harahap
(2005:33), Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 14/DSNMU/IX/2000 tertanggal 1
September 2000,dijelaskan bahwa “prinsip bagi hasil menggunakan sistem accrual
basic maupun cash basic dalam administrasi keuangan, dilihat dari segi
kemaslahatan, dalam pencatatan sebaiknya digunakan sistem cash basic akan
tetapi dalam distribusi hasil usaha hendaknya ditentukan atas dasr penerimaan
yang benar-benar terjadi (cash basic), dan penetapan sistemnya harus dipilih
dan disepakati dalam akad.
Menurut Rosjidi
(1999:129) ada dua metode dalam pengakuan dan pengukuran pendapatan yaitu, Cash
Basic (Dasar Tunai), dan Accrual Basic (Dasar Akrual). Pendapatan cara akrual
adalah pengakuan pendapatan selama produksi atau kontrak sesuai dengan
pernyataan menurut Hendriksen (2000:386). Sedangkan untuk pendapatan bagi hasil
pada bank syariah saat pengakuan pendapatan yang digunakan adalah Cash Basic.
Pengakuan
pendapatan kas basis ini dilakukan karena estimasi pendapatan tidak dapat
diukur dengan akurat saat kontrak ditandatangani, hal ini juga sesuai dengan
pernyataan kriteria menurut Hendriksen (2000:386).
2.
Pendapatan
Bagi Hasil
Nasabah pada
bank syariah mengembalikan pinjaman dengan menyerahkan sebagian keuntungan
usaha atau proyek sesuai proporsi bagi hasil kepada bank. Oleh bank, pembagian
keuntungan bagi hasil ini merupakan pendapatan. Pendapatan tersebut diperoleh
dari hasil pembiayaan, jual beli dan sewa. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa konsep bagi hasil adalah konsep pembiayaan atas kesepakan bersama,
seperti yang dikatakan Veithzal dan Andrian (2008:117).” Bagi hasil merupakan
konsep pembiayaan yang adil dan memiliki nuansa kemitraan yang sangat kental,
dan hasil diperoleh berdasarkan perbandingan atau nisbah yang disepakati dan
bukan sebagaimana bunga pada bank konvensional”. Dari pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa perhitungan pendapatan bagi hasil perlu ditentukan dari awal
dan diketahui kedua belah pihak, dengan demikian berati harus ditentukan
prinsip perhitungan bagi hasil, apakah menggunakan penerimaan bersih, laba
kotor, atau laba bersih.
Prinsip revenue
sharing diterapkan berdasarkan mudharib tidak boleh menggunakan harta
mudharabah sebagai biaya baik dalam keadaan menetapkan keuntungan bagi hasil
ini merupakan pendapatan. Pendapatan tersebut diperoleh dari hasil pembiayaan,
jual beli dan sewa. Dengan demikian dapat dikatan bahwa konsep bagi hasil
adalah konsep pembiayaan atas kesepakatan bersama, seperti dikatakan Viethzal
dan Andrian (2008:117)”bagi hasil merupakan konsep pembiayaan yang adil dan
memiliki nuansa kemitraan yang sangat kental, dan hasil yang diperoleh
berdasarkan perbandingan atau nisbah yang disepakati dan bukan sebagaimana
bunga pada bank konvensional”. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
perhitungan pendapatan bagi hasil perlu ditentukan dari awal dan diktahui kedua
belah pihak, dengan demikian berarti harus ditentukan prinsip perhitungan bagi
hasil, apakah menggunakan penerimaan bersih, laba kotor atau laba bersih.
Prinsip revenue sharing diterapkan berdasarkan bahwa mudharib tidak boleh
menggunakan harta mudharabah sebagai biaya baik dalam keadaan menetap maupun
bepergian karena mudharib telah mendapatkan bagian keuntungan maka ia tidak
berhak mendapatkan sesuatu dari harta itu yang pada akhirnya ia akan mendapat
yang lebih besar dari bagian shahibul mal. Sedangkan untuk profit sharing bahwa
mudharib dapat membelanjakan harta mudharabah hanya bila perdagangannya itu
diperjalanan saja.
Menurut Yaya,
dkk (2009:371) bank syariah boleh munggunakan prinsip bagi hasil revenue sharing
dan profit sharing sebagi dasar bagi hasil, revenue sharing adalah nilai
penjualan suatu barang yakni harga pokok ditambah margin pendapatan, dalam
dasar bagi hasil bank syariah yakni pendapatan dikurangi harga pokok barang
yang dijual dan dalam akuntansi biasanya disebut gross profit. Secara ideal
prinsip profit sharing lebih mencerminkan laba yang sesungguhnya karena
dihsasilkan dari perhitungan seluruh pendapatan dikurangi seluruh biaya, namun
secra teknis dilapangan prinsip profit sharing membuka peluang yang besar
adanya ketidak seimbangan informasi antara shahibul maal dan mudharib, yang
dapat menimbulkan kerugian bagi shahibul maal.
Dalam Veitzhal
dan Andrian (2008:119) adapun landasan syariah prinsip bagi hasil adalah
sebagai berikut : QS Al-Baqarah, (2:282) “hai orang yang beriman jika kamu
melakukan transaksi utang piutang untuk jangka waktu yang ditentukan
tuliskanlah.” Hadits riwayat Tirmidzi dan Amr bin Auf, “perdamaian dapat
dilkukan kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.” Dan kaidah ushul fiqh Asjmuni, A Rahman,
Qoidah-qoidah foqh (1976:75) Apabila ada
sesuatu perkara terlihat adanya kemaslahatan atau kemanfaatan, namun disitu
juga terdapat kemudharatan atau kerusakan jika itu dilaksanakan maka
meninggalkannya lebih baik untuk mencapai kemaslahatan yang lebih besar.
Pendapatan bank
syariah tidak hanya dari bagian pendaptan bagi hasil, tetapi ada
pendaptan-pendapatan lain yang menjadi hak sepenuhnya bank syariah dimana
pendapatan-pendapatan tersebut dibagi hasilkan antara pemilik dan pengelola
dana.
[1].Cristopher Pass dan Bryan Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi, (Jakarta : Erlangga, 1994)Edisi ke 2 ,
hlm. 53
[2].http://makalah-perbankanpdf.blogspot.co.id/2013
[3].Muhammad, Manajemen
Bank Syaria’ah (edisi revisi), Yogyakarta: VVP AMP YKPN, 2005
[4].Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke
Praktek, Jakarta; Gema Insani Press, 2007, hlm. 90
[5] . Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Perbankan Syari’ah
(Prinsip, Praktik dan Prospek), Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, Cet.
ke-1, 2003, hlm. 69
[6].Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke
Praktek, Jakarta; Gema Insani Press, 2007, hlm. 90
[7]. Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Perbankan Syari’ah
(Prinsip, Praktik dan Prospek), Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, Cet.
ke-1, 2003, hlm. 69
[8] . Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Perbankan Syari’ah
(Prinsip, Praktik dan Prospek), Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, Cet.
ke-1, 2003, hlm. 93
[9]. Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke
Praktek, Jakarta; Gema Insani Press, 2007, hlm. 95
[10] Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktek, Jakarta; Gema
Insani Press, 2007, hlm.99
[11] Ibid hlm.100
Tidak ada komentar:
Posting Komentar