Senin, 14 Oktober 2019

Makalah PROFIT SHARING



BAB II
PEMBAHASAN


A.   PENGERTIAN PROFIT SHARING
            Profit sharing menurut etimologi Bahasa Indonesia adalah bagi keuntungan. Secara definitif profit sharing diartikan sebagai “Distribusi beberapa bagian dari laba pada para pegawai dari suatu perusahaan  Dalam kamus ekonomi diartikan sebagai pembagian laba. Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total pendapatan suatu perusahaan lebih besar dari biaya total.[1]Di dalam istilah lain profit sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.  Pada perbankan syariah istilah yang sering dipakai adalah profit and loss sharing, di mana hal ini dapat diartikan sebagai pembagian antara untung dan rugi dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan.
Sistem profit and loss sharing dalam pelaksanaannya merupakan bentuk dari perjanjian kerjasama antara pemodal (Investor) dan pengelola modal (enterpreneur)  ditanggung bersama sesuai porsi masing-masing. Kerugian bagi pemodal tidak mendapatkan kembali modal investasinya secara utuh ataupun keseluruhan, dan bagi pengelola modal tidak mendapatkan upah atau hasil dari jerih payahnya atas kerja yang telah dilakukannya. 
Keuntungan yang didapat dari hasil usaha tersebut akan dilakukan pembagian setelah dilakukan perhitungan terlebih dahulu atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan selama proses usaha. Keuntungan usaha dalam dunia bisnis bisa negatif, artinya usaha tersebut merugi, dan positif berarti ada angka lebih, sisa dari pendapatan dikurangi biaya-biaya, dan nol artinya antara pendapatan dan biaya menjadi balance.[2]
Konsep profit sharing atau  bagi hasil dapat dengan mudah dijumpai dalam praktek masyarakat Islam pada masa Rasulullah dan sahabat hingga masyarakat muslim saat ini.   Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan bagi hasil adalah perjanjian pengolahan tanah, dengan upah sebagian dari hasil yang diperoleh dari pengolahan tanah itu.  

B.    KONSEP PERHITUNGAN BAGI HASIL DAN MARGIN LABA
Dana yang telah di kumpulkan oleh bank islam dari titipan dana pihak ketiga atau titipan lainnya, di kelola dengan penuh amanah dan istiqomah. Dengan harapan dana tersebut mendatangkan keuntungan besar, baik untuk nasabah mau pun Bank Islam. Prinsip utama yang harus di kembangkan Bank Islam dalam kaitannya dengan  manajemen dana adalah, bahwa : Bank Islam harus mampu memberikan bagi hasil kepada penyimpan dana minimal sama dengan atau lebih besar dari suku bunga yang berlaku di bank Konvensional, dan mampu menarik bagi hasil dari debitur yang berlaku di Bank Konvensional.
Oleh karena itu, upaya manajemen dana Bank Islam perlu dilakukan secara baik. Baiknya manajemen dana  yang di lakukan Bank Islam akan menunjukkan kredibilitas di depan kepercayaan masyarakat untuk menyimpan dananya. Sehingga, arah untuk mencapai : likiuditas, rentabilitas dan solvabilitas Bank Islam dapat tercapai
1.     Perhitungan Bagi Hasil Bagi Deposan
Bagi keuntungan atau bagi hasil merupakan ciri utama bagi Lembaga Keuangan Tanpa Bunga atau Bank Islam.  Bagi hasil, sering disebut orang sebagai pengganti nama “bunga”. Untuk menjawab perihal ini, marilah kita coba menganalisis perhitungan bagi hasil. Melalui ilustrasi pada pembahasan berikut ini akan memberikan gambaran riil letak perbedaan antara system bagi hasil dengan system bunga, sebagai berikut :
a.      Contoh kasus : (Bank Bagi Hasil)
Bapak A memilikim deposito Rp. 10 juta, jangka waktu satu bulan (1 Desember 1995 s/d 1 Januari 1996), dan nisbah bagi hasil antara nasabah dan bank 57% : 43%. Jika keuntungan bank yang di peroleh untuk deposito satu bulan per 31 Desember  1996 adalah Rp20 juta dan rata-rata deposisto jangka waktu 1 bulan adalah Rp950 juta, berapa keuntungan yang diperoleh Bapak A?
Jawab :
Keuntungan yang diperoleh Bapak A adalah :
(Rp10 juta / Rp950 juta) x Rp20 juta x 57%    = Rp120.000
b.     Contoh kasus (Bank Konvensional)
Pada tanggal1 Desember 1994, Bapak B membuka deposito sebesar Rp10 juta, jangka waktu satu bulan, dengan tingkat buga 9% p.a berapa bunga yang diperoleh pada saat jatuh tempo?
Jawab :
Bunga yang di perolh Bapak B adalah :
(Rp10 juta x 31 hari x 9%)/365 hari    =Rp76.438[3]

Dari contoh  di atas dapat di simpulkan bahwa pada dasarnya, bank bagi hasil memberi keuntungan kepada deposan  dengan pendekatan Financing to Deposito Rate (FDR), sedangkan bank konvensional dengan pendekata biaya. Artinya, dalam menghitung pendapatan, bank bagi hasil menimbang rasio antara dana pihak ketiga  dan pembiayaan yang di berikan, serta pendapatan yang dihasilkan dari perpaduan dua factor tersebut. Sedangkan bank konvensional langsung menganggap semua bunga yang diberikan  adalah biaya, tanpa memperhitungkan berapa pendapatan yang dapat dihasilkan dari dana yang dihimpun tersebut.

C.    JENIS-JENIS AKAD PROFIT SHARING
Secara umum, prinsip profit sharing (bagi hasil) dalam Perbankan Syari’ah dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu al-musyarakah, al-mudharabah, al-muzara’ah, dan al-musaqah.[4] Akan tetapi, prinsip yang paling banyak dipakai adalah al-musyarakah dan al-mudharabah, sedangkan al muzara’ah dan al-musaqah dipergunakan khusus untuk plantation financing atau pembiayaan pertanian oleh beberapa bank Islam.
Adapun macam-macam profit sharing yaitu sebagai berikut :
1.     Al-Musyarakah
Musyarakah berasal dari kata Arab syirkah atau syirikah, berarti kemitraan dalam suatu usaha.[5] Secara definisi terminolagi, Al-Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggungkan bersama sesuai dengan kesepakatan.[6] Musyarakah bisa berbentuk sebuah mufawadhah, artinya suatu kemitraan yang tidak terbatas, tidak tertutup dan sama di mana setiap mitra menikmati kesamaan yang utuh dalam hal modal, manajemen dan hak pengaturan. Masing-masing mitra menjadi wakil dan penjamin dari mitra lainnya. Dan bisa berbentuk syirkah ‘inan, yaitu jenis kemitraan yang terjadi jika dua pihak atau lebih turut memberikan modal, apakah dengan uang, pikiran atau kerja (tenaga). Musyarakah al-‘inan ini skupnya terbatas pada usaha tertentu. Karena kedua mitra berbagi keuntungan dengan cara yang disepakati dan menanggung kerugian sesuai dengan proporsi kontribusi modal mereka.[7]
Kemitraan-kemitraan yang berdasarkan perjanjian seperti itu dapat dianggap pantas karena para pihak yang terlibat telah dengan sengaja mengadakan sebuah kesepakatan untuk melakukan investasi bersama dan berbagi keuntungan serta resiko. Meskipun musyarakah adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan kemitraan yang dibangun sebagai sarana untukberbagai macam aktifitas komersial, namun konsep dasar dari musyarakah juga telah digunakan oleh institusi-institusi keuangan Islam untuk memberikan dana kepada perusahaan-perusahaan komersial. Adapun aplikasinya dalam perbankan antara lain yaitu:
a.      Pembiayaan Proyek
Al-musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek di mana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesi nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
b.     Modal Ventura
Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, al-musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.[8]





Skema al-musyarakah














Rounded Rectangle: Bagi hasil keuntungan
sesuai porsi konstribusi
modal (nisbah)
 













2.     Al-Mudharabah
Kata “mudharabah” dalam bahasa Arab berasal dari kata dharb, pada kalimat ad-dharbu fil-ardhi yaitu bepergian untuk urusan dagang.[9] Sedang menurut M. Syafi’i kata dharb berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usahanya. Disebut juga qiradh yang berasal dari kata al qardhu yang berarti al qath’u (potongan), karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungan.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut. Hal ini dapat dimengerti karena keuntungan merupakan hasil bersama dari penanaman modal dalam usaha bisnis, sedang kerugian bukan merupakan hasil dari usaha apapun. Keuntungan adalah konsekuensi dari kesuksesan usaha bisnis. Dalam hal ini kerugian tidak dapat dianggap berasal dari suatu usaha bisnis. Dengan kata lain kerugian merupakan kenyataan yang tidak mungkin memberi tambahan modal meskipun dalam usaha bisnis.
Jenis perjanjian ini berlawanan dengan musyarakah. Dalam musyarakah juga ada bagi hasil, tapi semua pihak berhak untuk turut serta dalam pengambilan keputusan manajerial. Sedang dalam mudharabah, pemilik modal tidak diberikan peran dalam manajemen perusahaan. Secara umum mudharabah ini terbagi menjadi dua jenis: mudharabah muthlaqah, dan mudharabah muqayyadah.
a.      Mudharabah Muthlaqah
b.     Mudharabah Muqayyadah
Aplikasi mudharabah dalam perbankan biasanya diterapkan pada produk-produk pendanaan dan pembiayaan. Pada sisi penghimpunan dana, mudharabah diterapkan pada :
a.      Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, dan sebagainya.
b.     Deposito Spesial, di mana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya murabahah saja atau ijarah saja.
Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk :
a.      Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa
b.     Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah, di mana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul maal.




Skema al-musyarakah

Perjanjian bagi hasil
                                                                     Text Box: BankText Box: Nasabah           


 












3.     Al-Muzara’ah
Al-muzaro’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian ke pada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (prosentase) dari hasil panen.[10] Dalam konteks ini, lembaga keuangan Islam dapat memberikan pembiayaan bagi hasil nasabah yang bergerak dalam bidang plantation atas dasar prinsip bagi hasil dari hasil panen.

4.     Al-Musaqah
Al-musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzaro’ah di mana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si penggarap berhakatas nisbah tertentu dari hasil panen.[11] Sebagai imbalan, mereka memperoleh prosentase tertentu dari hasil panen.
D.    PENDAPAT ULAMA TENTANG BAGI HASIL BANK SYARIAH
Dalam aplikasiannya, prinsip pendapatan diterapkan berdasarkan pendapat dari syafi’i yang mengatakan bahwa mudharib tidak boleh menggunakan harta mudhorobah sebagai biaya baik dalam keadaan menetap ataupun bepergian karena mudhorib telah mendapatkan bagian keuntungan maka ia tidak berhak mendapatkan sesuatu (nafkah) dari harta itu yang pada akhirnya ia akan mendapat yang lebih besar dari bagian shahibul maal. Sedangkan untuk profit sharing diterapkan berdasarkan pendapat dari Abu hanifah, Malik, Zaidiyah yang mengatakan bahwa mudharib dapat membelanjakan harta mudharabah hanya bila perdagangannya itu diperjalankan saja baik itu berupa biaya makanan, minumana, pakaian, dan sebagainya. Hambali mengatakan bahwa mudharib boleh menafkahkan sebagian dari harta mudharabah baik dalam keadaan menetap atau berpergian dengan izin shahibul maal, tetapi besarnya nafkah yang boleh digunakan adalah nafkah yang telah dikenal (menurut kebiasaan) para pedagang dan tidak boros.[12]
E.    ANALISIS PROFIT SHARING BANK SYARIAH
Bank syariah tidak mengenal pinjaman uang tetapi yang ada adalah kemintraan atau kerja sama dengan prinsip bagi hasil. Sementara pinjaman uang pada bank syariah hanya dimungkinkan untuk tujuan sosial tanpa ada imbalan apapun. Produk pembiayaan syariah berupa bagi hasil dikembangkan dalam produk mudharabah dan musyarakah.
Bank syariah berkeinginan mengembangkan produk pembiayaan bagi hasil. Namun kondisi masyarakat belum menyediakan iklim yang diinginkan. Hal ini dpat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal perbankan syariah.
Secara Internal, kalangan perbankan belum memahami secara baik tentang konsep dan praktek bagi hasil, karena syarat resiko utamanya berkaitan dengan pelanggan. Alasan ini muncul disebabkan oleh faktor eksternal bank, yaitu kondisi masyarakat pengguna jasa pembiayaan bagi hasil, kondisi yang dimaksud adalah keadaan tingkat kejujuran dan amanah masyarakat dalam menjalankan pembiayaan bagi hasil.
Kontrak bagi hasil adalah kontrak menanggung untung dan rugi antara pemilik dana atau bank dan nasabah. Pada hubungan kontrak seperti ini diperlukan saling keterbukaan antara kedua belah pihak. Karena mereka bersatu dalam keuntungan dengan pembagian berdasarkan persentase bagi hasil atau nisbah. Jika proyek mengalami kerugian, maka kerugian akan dibagi berdasarkan timbulnya kerugian, yaitu jika kerugian terjadi karena resiko bisnis, kerugian yang terjadi karena kelalaian nasabah, maka kerugian ditanggung oleh nasabah.
Bank syariah merupakan bank dengan prinsip bagi hasil yang merupakan landasan utama dalam segala operasinya, baik dalam penghimpunan maupun penyaluran dana. Dari pembiayaan dengan prinsip bagi hasil diperoleh bagian bagi hasil atau laba sesuai kesepakatan awal atau nisbah bagi hasil dengan masing-masing nasbah.
Perhitungan bagi hasil tersebut, tentunya dihitung dari persentase tertentu dari keuntungan yang diperoleh. Hal ini mengandung unsur ketidakpastian, ada kemungkinan nasabah memperoleh keuntungan atau kerugian. Ada kemungkinan keuntungan didapatkan berbeda antara satu periode dengan periode lain. Unsur ketidakpastian dalam usaha atau proyek inilah yang membuat bank syariah tidak dapat mengakui pendapatan secara accrual basic. Aliran aktiva yang masuk berupa kas hanya dapat diketahui apabila nasabah benar-benar telah menyetornya.
Dalam Ikatan Akuntan Indonesia (2007:59), tentang akuntansi perbankan syariah pada paragraf 162 dijelaskan “bahwa kelompok pendapatan bank syraiah diantaranya pendapatan operasi utama dan pendapatan operasi lainnya.” Adapun pendapatan operasi utama diperoleh dari pendapatan jual beli,  pendapatan sewa, dan pendapatan daribagi hasil serta pendapatan operasi lainnya yang diperoleh dari pendapatan administrasi penyaluran, pendapatan fee atas kegiatan bank yang berbasis imbalan, diantara pendapatan cash basic .
1.     Pengukuran Pendapatan
Pada bank syariah pengukuran pendapatan tidak dapat dilakukan pada saat transaksiditandatangani karena pendapatan hanya akan diketahui setelah dilakukan pembagian hasil. Pengakuan pendapatan merupakan hal yang paling sulit untuk dilakukan karena hal ini mencakup proses penghimpunan dan realisasi pendapatan. Paton dan Littleton dan Suwardjono (1989:169) menjelaskan bahwa konsep realisasi sangat berbeda dengan pembentukan pendapatan. Realisasi adalah konsep teknis akuntansi yang dapat dijadikan dasar untuk menandai pengakuan pendapatan. Saat pengakuan pendapatan juga merupakan hal yang sangat penting dalam pengukuran pendapatan.
Menurut Suwardjono (1989:173) ada 5 saat pengakuan pendaptan, yaitu pendapatan diakui pada saat kontrak penjualan terjadi dengan nilai kontrak yang pasti tetapi perusahaan belum mempunyai barang atau jasa yang harus diserahkan, pendapatan diakui secara bertahap dalam tahap kegiatan produksi proporsional dengan kemajuan produksi, pendapatan diakui pada saat produk selesai, pengakuan pendapatan saat produksi selesai, pengakuan pendapatan pada saat penjualan barang atau penyerahan jasa, dan pengakuan pendapatan pada saat kas diterima.
Setiap laporan laba rugi dimulai dengan total pendapatan, karena itu diperlukan suatu pengakuan dan pengukuran pendapatan, karena ada pendapatan yang dapat direalisasi dan ada pendapatan yang masih dalam proses. Agar dapat dilaporkan pada laporan keuangan, maka diperlukan suatu pengakuan dan pengukuran pendapatan. Untuk itu, ada dua macam pengakuan yang umum dikenal yang pertama yakni pengakuan dengan metode accrual basic yakni pendapatan yang dicatat atau diakui pada saat pendapatan dihasilkan tanpa memperhatikan kapan pendapatan itu diterima, yang kedua yakni pengakuan dengan metode cash basic yaitu pendapatan yang dicatat atau diakui pada saat diterima dan beban diakui pada saat dibayar. Dalam kaitannya dengan hal pengakuan pendapatan Ikatan Akuntan Indonesia (2007: No.23) menjelaskan bahwa:”Permasalahan utama dalam akuntansi adalah menentukan saat pengakuan pendapatan. Pendapatan diakui bila besar kemungkinan manfaat ekonomi masa depan akan mengalir keperusahaan dan manfaat ini dapat di ukur dengan andal, pendapatan diakui bila sudah dapat direalisir (realized or realiable) dan proses untuk memperoleh pendapatan sudah selesai (earned). Prinsip dasar untuk pengakuan pendapatan adalah bahwa pengakuan harus diakui ketika diperoleh. Dalam Harahap (2005:41) dikatan bahwa perolehan pendapatan terjadi apabila syarat-syarat yang berikut ini terpenuhi, diantaranya bank harus sudah mendapatkan hak untuk menerima pendapatan tersebut, harus ada kewajiban dipihak lain untuk mengirim sejumlah tertentu atau yang bisa ditentukan kepada bank, dan jika belum tertagih, jumlah pendapatan harus diketahaui dan harus bisa ditagih dengan tingkat kepastian yang cukup.
Konsep pengukuran akuntansi mendefinisikan prinsip-prinsip yang luas untuk menentukan jumlah dimana unsur-unsur tersebut diakui. Dalam perbankan syariah pengakuan dan pengukuran pendapatan menjadi permaslahan yang harus diperhatikan karena ada sedikit perbedaan pada saat pencatatan dan pembagian keuntungan khususnya pada pendapatan bagi hasil.
Dalam Harahap (2005:33), Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 14/DSNMU/IX/2000 tertanggal 1 September 2000,dijelaskan bahwa “prinsip bagi hasil menggunakan sistem accrual basic maupun cash basic dalam administrasi keuangan, dilihat dari segi kemaslahatan, dalam pencatatan sebaiknya digunakan sistem cash basic akan tetapi dalam distribusi hasil usaha hendaknya ditentukan atas dasr penerimaan yang benar-benar terjadi (cash basic), dan penetapan sistemnya harus dipilih dan disepakati dalam akad.
Menurut Rosjidi (1999:129) ada dua metode dalam pengakuan dan pengukuran pendapatan yaitu, Cash Basic (Dasar Tunai), dan Accrual Basic (Dasar Akrual). Pendapatan cara akrual adalah pengakuan pendapatan selama produksi atau kontrak sesuai dengan pernyataan menurut Hendriksen (2000:386). Sedangkan untuk pendapatan bagi hasil pada bank syariah saat pengakuan pendapatan yang digunakan adalah Cash Basic.
Pengakuan pendapatan kas basis ini dilakukan karena estimasi pendapatan tidak dapat diukur dengan akurat saat kontrak ditandatangani, hal ini juga sesuai dengan pernyataan kriteria menurut Hendriksen (2000:386).
2.     Pendapatan Bagi Hasil
Nasabah pada bank syariah mengembalikan pinjaman dengan menyerahkan sebagian keuntungan usaha atau proyek sesuai proporsi bagi hasil kepada bank. Oleh bank, pembagian keuntungan bagi hasil ini merupakan pendapatan. Pendapatan tersebut diperoleh dari hasil pembiayaan, jual beli dan sewa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep bagi hasil adalah konsep pembiayaan atas kesepakan bersama, seperti yang dikatakan Veithzal dan Andrian (2008:117).” Bagi hasil merupakan konsep pembiayaan yang adil dan memiliki nuansa kemitraan yang sangat kental, dan hasil diperoleh berdasarkan perbandingan atau nisbah yang disepakati dan bukan sebagaimana bunga pada bank konvensional”. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa perhitungan pendapatan bagi hasil perlu ditentukan dari awal dan diketahui kedua belah pihak, dengan demikian berati harus ditentukan prinsip perhitungan bagi hasil, apakah menggunakan penerimaan bersih, laba kotor, atau laba bersih.
Prinsip revenue sharing diterapkan berdasarkan mudharib tidak boleh menggunakan harta mudharabah sebagai biaya baik dalam keadaan menetapkan keuntungan bagi hasil ini merupakan pendapatan. Pendapatan tersebut diperoleh dari hasil pembiayaan, jual beli dan sewa. Dengan demikian dapat dikatan bahwa konsep bagi hasil adalah konsep pembiayaan atas kesepakatan bersama, seperti dikatakan Viethzal dan Andrian (2008:117)”bagi hasil merupakan konsep pembiayaan yang adil dan memiliki nuansa kemitraan yang sangat kental, dan hasil yang diperoleh berdasarkan perbandingan atau nisbah yang disepakati dan bukan sebagaimana bunga pada bank konvensional”. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa perhitungan pendapatan bagi hasil perlu ditentukan dari awal dan diktahui kedua belah pihak, dengan demikian berarti harus ditentukan prinsip perhitungan bagi hasil, apakah menggunakan penerimaan bersih, laba kotor atau laba bersih. Prinsip revenue sharing diterapkan berdasarkan bahwa mudharib tidak boleh menggunakan harta mudharabah sebagai biaya baik dalam keadaan menetap maupun bepergian karena mudharib telah mendapatkan bagian keuntungan maka ia tidak berhak mendapatkan sesuatu dari harta itu yang pada akhirnya ia akan mendapat yang lebih besar dari bagian shahibul mal. Sedangkan untuk profit sharing bahwa mudharib dapat membelanjakan harta mudharabah hanya bila perdagangannya itu diperjalanan saja.
Menurut Yaya, dkk (2009:371) bank syariah boleh munggunakan prinsip bagi hasil revenue sharing dan profit sharing sebagi dasar bagi hasil, revenue sharing adalah nilai penjualan suatu barang yakni harga pokok ditambah margin pendapatan, dalam dasar bagi hasil bank syariah yakni pendapatan dikurangi harga pokok barang yang dijual dan dalam akuntansi biasanya disebut gross profit. Secara ideal prinsip profit sharing lebih mencerminkan laba yang sesungguhnya karena dihsasilkan dari perhitungan seluruh pendapatan dikurangi seluruh biaya, namun secra teknis dilapangan prinsip profit sharing membuka peluang yang besar adanya ketidak seimbangan informasi antara shahibul maal dan mudharib, yang dapat menimbulkan kerugian bagi shahibul maal.
Dalam Veitzhal dan Andrian (2008:119) adapun landasan syariah prinsip bagi hasil adalah sebagai berikut : QS Al-Baqarah, (2:282) “hai orang yang beriman jika kamu melakukan transaksi utang piutang untuk jangka waktu yang ditentukan tuliskanlah.” Hadits riwayat Tirmidzi dan Amr bin Auf, “perdamaian dapat dilkukan kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” Dan kaidah ushul fiqh Asjmuni, A Rahman, Qoidah-qoidah foqh (1976:75)  Apabila ada sesuatu perkara terlihat adanya kemaslahatan atau kemanfaatan, namun disitu juga terdapat kemudharatan atau kerusakan jika itu dilaksanakan maka meninggalkannya lebih baik untuk mencapai kemaslahatan yang lebih besar.
Pendapatan bank syariah tidak hanya dari bagian pendaptan bagi hasil, tetapi ada pendaptan-pendapatan lain yang menjadi hak sepenuhnya bank syariah dimana pendapatan-pendapatan tersebut dibagi hasilkan antara pemilik dan pengelola dana.




[1].Cristopher Pass dan Bryan Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi, (Jakarta : Erlangga, 1994)Edisi ke 2 ,     hlm. 53
[2].http://makalah-perbankanpdf.blogspot.co.id/2013
[3].Muhammad, Manajemen Bank Syaria’ah (edisi revisi), Yogyakarta: VVP AMP YKPN, 2005
[4].Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktek, Jakarta; Gema Insani Press, 2007, hlm. 90
[5] . Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Perbankan Syari’ah (Prinsip, Praktik dan Prospek), Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, Cet. ke-1, 2003, hlm. 69
[6].Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktek, Jakarta; Gema Insani Press, 2007, hlm. 90
[7]. Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Perbankan Syari’ah (Prinsip, Praktik dan Prospek), Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, Cet. ke-1, 2003, hlm. 69
[8] . Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Perbankan Syari’ah (Prinsip, Praktik dan Prospek), Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, Cet. ke-1, 2003, hlm. 93
[9]. Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktek, Jakarta; Gema Insani Press, 2007, hlm. 95
[10] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktek, Jakarta; Gema Insani Press, 2007, hlm.99
[11]  Ibid hlm.100
[12] http://ernachesna.blogspot.co.id diakses tanggal 23 oktober 2017 pukul 14:00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengertian, rukun dan syarat , impementasi Wakalah dan Murabahah

A.     Wakalah 1.      Pengertian Wakalah Perwakilan (wakalah) adalah al-wakalah atau al –wikalah. Menurut bahasa artinya al hifdz,...