BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
LAFASH UMUM (‘AMM)
Diimpulkan oleh Muhammad Adib Saleh, lafadz umum adalah lafadz yang
diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafadz itu sendiri
tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu[1].
‘Amm menurut bahasa artinya merata, yang umum, dan menurut istilah
adalah lafadz yang memiliki pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam
pengertian lafadz itu. Dengan pengertian lain ‘am adalah kata yang memberi
pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan
tidak terbatas.
Lafads aam ialah satuan lafads yang menunjukan satu makna yang
mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.[2]
B.
BENTUK-BENTUK
LAFADZ ‘AMM
Lafadz
‘am mempunyai bentuk tertentu, diantaranya :
1.
Lafadz
kull (كل setiap ) dan jami’
(جميعseluruh/semua )
Misalnya
firman Allah SWT :
كُلُّ
نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
Artinya
: ‘tiap- tiap yang berjiwa akan mati’. (Ali ‘imran : 185)
lidatLAFADZ
kull dan jami’ tersebut di atas, keduanya mencakup seluruh satuan
yang tidak terbatas jumlahnya.
2.
Kata
jamak (plural) yang disertai alif dan lam di awalnya.
Misalnya
firman Allah SWT :
وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
Artinya
:‘para ibu (hendaklahy) menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu
bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuannya’. (Al-Baqarah:233)
Kata
al-walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama
atau disebut ibu.
3.
Kata
benda tunggal yang di ma’rifatkan dengan alif lam.
Misalnya
firman Allah SWT :
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya
: Padahal Allah telah menghalal kan jual beli dan mengharumkan riba’ (Al-Baqoroh:275).
Lafadz
al ba’i (jual beli) dan al-riba adalah kata benda yang dima’rifatkan dengan
alif lam.Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz ‘am yang mencakup semua
satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya.
4.
Lafadz
Asma al-Mawshul. Seperti ma al-ladhina, al-lazi dan sebagainya.
misalnya
firman Allah SWT :
إِنَّ
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي
بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Artinya
: Sesunguhnya orang-orang yang (al-ladzina) memakan harta anak yatim secara
zalim ,sebenarnyamereka itu menelan api sepenuh perut dan mereka akan masuk
kedalam api yang menyala-nyala. (QS. An nisa ayat 10)
5.
Lafadz
Asma al-Syart ( isim-isim isyarat kata benda untuk mensyaratkan.Seperti kata
ma, man dsb.
Misalnya
firman Allah SWT :
وَمَنْ
قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ
إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا
Artinya
: Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah)
ia memerdekan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang
diserahkan kepada keluarganya (si pembunuh itu) kecuali jika mereka (keluarga
terbunuh) bersedekah.(An-Nisa:92)
6.
Isim
nakirah dalam susunan kalimat nafi’ (negatif)
seperti kata dalam ayat berikut
وَلَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
Artinya
: Dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada
mereka maharnya.(Al-Mumtahanah:10).[3]
C.
PEMBAGIAN
LAFADZ UMUM (‘AM)
Lafadz umum, seperti dijelaskan oleh Musthafa Sa’id al-Khin, Guru
besar Ushul Fiqh Universitas Damaskus, dapat dibagi menjadi tiga macam :
a.
Lafadz
umum yang dikehendaki keumumanya karena ada dalil atau indkasi yang menunjukkan
tertutupnya kemungkinan ada takhsis ( pengkhususan ). Misalnya ayat 6 surah Hud
(11) :
وَمَا
مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ
مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Artinya :
dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat
penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang
Yang dimaksud dengan binatang melata dalam ayat tersebut adalah
umum, mencakup seluruh jenis binatang tanpa kecuali, karena diyakini bahwa
setiap yang melata di permukaan bumi adalah Allah yang memberi rezekinya.
b.
Lafadz
umum padahal yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang
menunjukkan makna seperti itu. Contohnya ayat 120 surat at-Taubah (9) :
مَا
كَانَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ أَنْ
يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ وَلَا يَرْغَبُوا بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ
نَفْسِهِ
Artinya
: tidaklah sepatutna bagi penduduk madinah dan orang-orang arab Badawi yang
berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai rasulullah ( pergi berperang )
dan tidak patut ( pula ) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada
mencintai diri Rasulullah.
Sepintas
dipahami bahwa ayat tersebut menunjukkan makna umum, yaitu setiap penduduk
Madinah dan orang-orang Arab sekitarnya termasuk orang-orang sakit dan orang
lemah harus turut menyertai Raulullah pergi berperang. Namun yang dimaksud oleh
ayat tersebut bukanlah makna umum itu, tetapi hanyalah orang-orang yang mampu.
c.
Lafadz
umum yang terbebas dari indikasi baik menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna
umumnya atau adalah sebagian cakupannya. Contohnya ayat 228 surah al-baqarah
(2) :
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Artinya
: dan wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru.
Lafal
umum dalam ayat tersebut yaitu al-muthallaqat (wanita-wanita yang
ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah
makna umumnya itu atau sebagian cakupannya. Dalam hal ini, menurut jumhur ulama
ushul fiqh, seperti dikemukakan Muhammad Adib Shaleh , kaidah ushul fiqh yang
berlaku adalah bahwa sebelum terbukti ada pen-takhsish-nya, ayat itu harus
diterapkan kapada semua satuan cakupannya secara umum.
Berkaitan
dengan lafadz umum, perlu dibahas tentang takhsis. Seperti dikemukakan
Khudari Bik dalam bukunya Ushul Fiqh , takhsis adalah penjelasan
bahwa yang dimaksud dengan suatu lafadz umum adalah sebagian dari cangkupan
nya, bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, mengeluarkan sebagian dari
satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz umum dengan dalil.
D.
PENGERTIAN
LAFADZ KHUSUS ( KHAS)
Lafadz khas, yaitu lafadz yang dipakai untuk menunjukkan seseorang,
atau misalnya Muhammad, atau semacam , misalnya laki-laki, atau suatu gabungan
misalnya, tiga belas, seratus, kaum, serombongan, jamak dan fariq. [4]
Seperti dikemukakan Adib Shalih, lafadz khusus adalah lafadz yang
mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang
terbatas. Para ulama ushul fiqh sepakat, seperti yang disebutkan Abu Zahrah,
bahwa lafadz khusus dalam nash syara’ menunjukan kepada pengertianya yang khas
secara qhat’i atau pasti dan hukum yang dikandungnya bersifat pasti atau qhat’i
selama tidak ada indikasi yang menunjukan pengertian lain.
Contoh lafadz khusus adalah ayat 89, surah Al-maidah (5)
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ
مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ
Artinya: maka kafarat (melangar) sumpah itu, ialah memberi makan
sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada
keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka....
Kata ‘asyarah dalam ayat tersebut diciptakan hanya untuk
bilangan sepuluh, tidak lebih dan tidak pula kurang. Arti sepuluh itu sendiri
sudah pasti tidak ada kemungkinan pengertian lain. Begitulah dipahami setiap
lafadz khusus dalam Al-Qur’an selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada
pengertian lain seperti makna majazi (metafora).
Jika terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud bukan makna
hakikatnya, tetapi makna majazi-nya, maka terjadilah apa yang dinamakan ta’wil
, yaitu pemalingan arti lafadz dari makna hakikatnya kepada majazi, seperti
akan dijelaskan nanti. Lafadz khusus itu ada yang mutlaq dan muqayyad.
E.
HUKUM
LAFADZ KHAS
Lafadz yang terdapat pada nash syara’ menunjukkan suatu makna
tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah makna nya. Oleh
karena itu, apabila lafadz khas dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan
apapun, maka lafadz itu memberi faidah ketetapan hukum secara mutlaq, selama
tidak ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafadz itu di kemukakan dalam bentuk
perintah maka ia memberikan faidah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (
ma’mur bih ) selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada makna yang
lain. Demikian juga apabila lafadz itu dkemukakan dalam bentuk larangan ( nahy
) ia memberikan faidah berupa hukum haram hal yang dilarang itu, selama tidak
ada qarinah ( indikasi ) yang memalingkan nya dari hal itu.
[1] Satria Effendi,
Ushul Fiqh ( Jakarta : Kencana, 2017 ),cet.7, hlm.179.
[2] Rachmat
Syafei,ilmu ushul fiqih(Bandung:pustaka setia,2010),cet,4.hlm 193
[3]http://zulkarnaenjuli.blogspot
.co.id/2011/04/lafadz-am-dan-lafadz-khas-ushul-fiqh.html?m=1 diakses pada
tanggal 19 mei 2017 pukul 12:26
[4]Abdul Wahab
Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), Cet. 6. Hlm. 241
Tidak ada komentar:
Posting Komentar