Senin, 14 Oktober 2019

Makalah Ushul Fiqh Lafash umum ('amm)



BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN LAFASH UMUM (‘AMM)
Diimpulkan oleh Muhammad Adib Saleh, lafadz umum adalah lafadz yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafadz itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu[1].
‘Amm menurut bahasa artinya merata, yang umum, dan menurut istilah adalah lafadz yang memiliki pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadz itu. Dengan pengertian lain ‘am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.
Lafads aam  ialah  satuan lafads yang menunjukan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.[2]

B.    BENTUK-BENTUK LAFADZ ‘AMM
Lafadz ‘am mempunyai bentuk tertentu, diantaranya :
1.     Lafadz kull (كل setiap ) dan jami’ (جميعseluruh/semua )
Misalnya firman Allah SWT :
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
 Artinya : ‘tiap- tiap yang berjiwa akan mati’. (Ali ‘imran : 185)
lidatLAFADZ kull dan jami’ tersebut di atas, keduanya mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas jumlahnya.
2.     Kata jamak (plural) yang disertai alif dan lam di awalnya.
Misalnya firman Allah SWT :
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
Artinya :‘para ibu (hendaklahy) menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuannya’. (Al-Baqarah:233)
Kata al-walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama atau disebut ibu.
3.     Kata benda tunggal yang di ma’rifatkan dengan alif lam.
Misalnya firman Allah SWT :
         وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya : Padahal Allah telah menghalal kan jual beli dan mengharumkan riba’ (Al-Baqoroh:275).
Lafadz al ba’i (jual beli) dan al-riba adalah kata benda yang dima’rifatkan dengan alif lam.Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya.
4.     Lafadz Asma al-Mawshul. Seperti ma al-ladhina, al-lazi dan sebagainya.
misalnya firman Allah SWT :
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Artinya : Sesunguhnya orang-orang yang (al-ladzina) memakan harta anak yatim secara zalim ,sebenarnyamereka itu menelan api sepenuh perut dan mereka akan masuk kedalam api yang menyala-nyala. (QS. An nisa ayat 10)
5.     Lafadz Asma al-Syart ( isim-isim isyarat kata benda untuk mensyaratkan.Seperti kata ma, man dsb.
Misalnya firman Allah SWT :
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا
Artinya : Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si pembunuh itu) kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.(An-Nisa:92)
6.     Isim nakirah dalam susunan kalimat nafi’ (negatif)  seperti kata  dalam ayat berikut
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
Artinya : Dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya.(Al-Mumtahanah:10).[3]

C.    PEMBAGIAN LAFADZ UMUM (‘AM)
Lafadz umum, seperti dijelaskan oleh Musthafa Sa’id al-Khin, Guru besar Ushul Fiqh Universitas Damaskus, dapat dibagi menjadi tiga macam :
a.      Lafadz umum yang dikehendaki keumumanya karena ada dalil atau indkasi yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhsis ( pengkhususan ). Misalnya ayat 6 surah Hud (11) :
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Artinya : dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang
Yang dimaksud dengan binatang melata dalam ayat tersebut adalah umum, mencakup seluruh jenis binatang tanpa kecuali, karena diyakini bahwa setiap yang melata di permukaan bumi adalah Allah yang memberi rezekinya.
b.     Lafadz umum padahal yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang menunjukkan makna seperti itu. Contohnya ayat 120 surat at-Taubah (9) :
مَا كَانَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ وَلَا يَرْغَبُوا بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ نَفْسِهِ
Artinya : tidaklah sepatutna bagi penduduk madinah dan orang-orang arab Badawi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai rasulullah ( pergi berperang ) dan tidak patut ( pula ) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasulullah.
Sepintas dipahami bahwa ayat tersebut menunjukkan makna umum, yaitu setiap penduduk Madinah dan orang-orang Arab sekitarnya termasuk orang-orang sakit dan orang lemah harus turut menyertai Raulullah pergi berperang. Namun yang dimaksud oleh ayat tersebut bukanlah makna umum itu, tetapi hanyalah orang-orang yang mampu.
c.      Lafadz umum yang terbebas dari indikasi baik menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umumnya atau adalah sebagian cakupannya. Contohnya ayat 228 surah al-baqarah (2) :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Artinya : dan wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.
Lafal umum dalam ayat tersebut yaitu al-muthallaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umumnya itu atau sebagian cakupannya. Dalam hal ini, menurut jumhur ulama ushul fiqh, seperti dikemukakan Muhammad Adib Shaleh , kaidah ushul fiqh yang berlaku adalah bahwa sebelum terbukti ada pen-takhsish-nya, ayat itu harus diterapkan kapada semua satuan cakupannya secara umum.

Berkaitan dengan lafadz umum, perlu dibahas tentang takhsis. Seperti dikemukakan Khudari Bik dalam bukunya Ushul Fiqh , takhsis adalah penjelasan bahwa yang dimaksud dengan suatu lafadz umum adalah sebagian dari cangkupan nya, bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, mengeluarkan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz umum dengan dalil.

D.      PENGERTIAN LAFADZ KHUSUS ( KHAS)
Lafadz khas, yaitu lafadz yang dipakai untuk menunjukkan seseorang, atau misalnya Muhammad, atau semacam , misalnya laki-laki, atau suatu gabungan misalnya, tiga belas, seratus, kaum, serombongan, jamak dan fariq. [4]
Seperti dikemukakan Adib Shalih, lafadz khusus adalah lafadz yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Para ulama ushul fiqh sepakat, seperti yang disebutkan Abu Zahrah, bahwa lafadz khusus dalam nash syara’ menunjukan kepada pengertianya yang khas secara qhat’i atau pasti dan hukum yang dikandungnya bersifat pasti atau qhat’i selama tidak ada indikasi yang menunjukan pengertian lain.
Contoh lafadz khusus adalah ayat 89, surah Al-maidah (5)
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ
Artinya: maka kafarat (melangar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka....
Kata ‘asyarah dalam ayat tersebut diciptakan hanya untuk bilangan sepuluh, tidak lebih dan tidak pula kurang. Arti sepuluh itu sendiri sudah pasti tidak ada kemungkinan pengertian lain. Begitulah dipahami setiap lafadz khusus dalam Al-Qur’an selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada pengertian lain seperti makna majazi  (metafora). Jika terdapat  indikasi  yang  menunjukkan bahwa yang dimaksud bukan makna hakikatnya, tetapi makna majazi-nya, maka terjadilah apa yang dinamakan ta’wil , yaitu pemalingan arti lafadz dari makna hakikatnya kepada majazi, seperti akan dijelaskan nanti. Lafadz khusus itu ada yang mutlaq dan muqayyad.

E.     HUKUM LAFADZ KHAS
Lafadz yang terdapat pada nash syara’ menunjukkan suatu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah makna nya. Oleh karena itu, apabila lafadz khas dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafadz itu memberi faidah ketetapan hukum secara mutlaq, selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafadz itu di kemukakan dalam bentuk perintah maka ia memberikan faidah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan ( ma’mur bih ) selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada makna yang lain. Demikian juga apabila lafadz itu dkemukakan dalam bentuk larangan ( nahy ) ia memberikan faidah berupa hukum haram hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah ( indikasi ) yang memalingkan nya dari hal itu.


[1] Satria Effendi, Ushul Fiqh ( Jakarta : Kencana, 2017 ),cet.7, hlm.179.
[2] Rachmat Syafei,ilmu ushul fiqih(Bandung:pustaka setia,2010),cet,4.hlm 193
[3]http://zulkarnaenjuli.blogspot .co.id/2011/04/lafadz-am-dan-lafadz-khas-ushul-fiqh.html?m=1 diakses pada tanggal 19 mei 2017 pukul 12:26
[4]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), Cet. 6. Hlm. 241

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengertian, rukun dan syarat , impementasi Wakalah dan Murabahah

A.     Wakalah 1.      Pengertian Wakalah Perwakilan (wakalah) adalah al-wakalah atau al –wikalah. Menurut bahasa artinya al hifdz,...