Rabu, 16 Oktober 2019

Pengertian Kafalah, landasan hukum kafalah, rukun dan syarat kafalah, jenis kafalah, hubungan kafalah dan asuransi

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Diantara masalah-masalah yang banyak melibatkan anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari adalah masalah muamalah (Akad, transaksi) dalam berbagai bidang. Karena masalah muamalah ini langsung melibatkan manusia dalam masyarakat, maka pedoman dan tatanannya pun perlu dipelajari dan diketahui dengan baik, sehingga tidak terjadi penyimpangan dan pelanggaran yang merusak kehidupan ekonomi dan hubungan sesama manusia.
Jaminan pada hakikatnya merupakan usaha untuk memberikan kenyamanan bagi semua orang yang melakukan transaksi. Untuk era sekarang ini kafalah ialah asuransi.  Jaminan atau asuransi telah disyariatkan oleh islam ribuan tahun silam. Ternyata, Untuk masa sekarang ini kafalah (jaminan) sangat penting, tidak pernah dilepaskan dalam bentuk transaksi seperti utang apalagi transaksi bank seperti bank dan sebagainya. Dalam kafalah hal kafalah ini bisa mendatangkan sikap tolong menolong, keamanan, kenyamanan dan kepastian dalam bertransaksi. Supaya orang yang memiliki hak mendapatkan ketenangan terhadap hutang yang dipinjamkan kepada orang lain atau benda yang dipinjam.
B.    RUMUSAN MASALAH
1.     Apakah pengertian kafalah?
2.     Apa saja dasar hukum yang ada dalam kafalah?
3.     Apa saja rukun dan syarat kafalah?
4.     Apa saja jenis-jenis kafalah?
5.     Apakah pengertian asuransi?
6.     Bagaimana hubungan antara kafalah dan asuransi?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN KAFALAH
Kafalah mempunyai beberapa padanan kata atau sinonim, antara lain hamalah, damanah, dan za’amah. Kafalah secara etimologi menurut Ibnu ‘Abidin adalah sama dengan al-Dammu yang berarti memelihara atau menanggung.
Kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikan Kafalah sebagai jaminan yang diberikan seseorang kepada orang lain yang mempunyai tanggung jawab menunaikan hak membayar hutang dengan demikian maka pembayaran hutang menjadi tanggungan pihak penjamin. Sementara dalam kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) pasal 20 ayat 12, kafalah di definisikan “Jaminan atau garansi yang diberikan oleh penjamin kepada pihak ketiga/pemberi pinjaman untuk memenuhi kewajiban pihak kedua/peminjam”. [1]
Dalam kontek Islam penaggungan hutang ini dikenal dengan istilah kafalah, yaitu orang yang diperbolehkan bertindak (berakal sehat) berjanji menunaikan hak yang wajib ditunaikan orang lain atau berjanji menghadirkan hak tersebut di pengadilan.
Dengan demikian dalam perjanjian pertanggungan utang disyaratkan adanya kafiil, ashiil, makfullaahu dan makfulbihi. Kafiil adalah orang yang wajib melakukan penanggungan, sedangkan ashiil adalah orang yang berhutang dan membutuhkan seorang penanggung. Disisi lain ada makfullahu yaitu orang yang memberikan hutang, yang tentu saja harus dikenal oleh kafil. Kemudian makfulfihi adalah sesuatu yang dijadikan jaminan atau tanggungan, baik berupa jaminan kebendaan ataupun jaminan perorangan.
Menurut M. Syafii Antonio, al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain.
Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian penanggungan adalah perjanjian yang bersifat accesoir dari perjanjian utang-piutang sebagai perjanjian pokok. Konsekuensi yuridis dari hal ini adalah bahwa keberadaannya sangat tergantung dari perjanjian pokoknya.[2]

B.    Landasan Hukum Kafalah
1.     Landasan Syariah
a.      Al-Qur’an
Kafalah disyaratkan oleh Allah Swt. terbukti dengan firman-Nya:

Ya'qub berkata: "Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kamu, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung musuh". tatkala mereka memberikan janji mereka, Maka Ya'qub berkata: "Allah adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan (ini)". (QS. Yusuf:66)


“Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya". (QS. Yusuf:72)
b.     Al-Hadits
Dasar hukum kafalah yang kedua adalah Al-Sunnah, dalam hal ini Rasulullah Saw. bersabda:
“Pinjaman hendaklah dikembalikan dan yang menjamin hendaklah membayar”. (Riwayat Abu Dawud)
“Bahwa Nabi Saw. pernah menjamin sepuluh dinar dari seorang laki-laki yang oleh penagih ditetapkan untuk menagih sampai sebulan, maka hutang sejumlah itu dibayar kepada penagih.” (Riwayat Ibnu Majah)
“Tidak ada kafalah dalam had.” (Riwayat Baihaqi)“Telah dihadapkan kepada Rasulullah saw. (mayat seorang laki-laki untuk dishalatkan)… Rasulullah saw bertanya “Apakah dia mempunyai warisan?” Para sahabat menjawab , “Tidak.” Rasulullah bertanya lagi, “Apakah dia mempunyai utang?” Sahabat menjawab “Ya, sejumlah tiga dinar.” Rasulullah pun menyuruh para sahabat untuk menshalatkannya (tetapi beliau sendiri tidak). Abu Qatadah lalu berkata, “Saya menjamin utangnya, ya Rasulullah.” Maka Rasulullah pun menshalatkan mayat tersebut.” (HR. Bukhari no. 2127, kitab al-Hawalah)
2.     Landasan Hukum Positif
Kafalah sebagai salah satu produk perbankan syariah di bidang jasa telah mendapatkan dasar hukum dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, kafalah mendapatkan dasar hukum yang lebih kokoh. Dalam Pasal 19 Undang-Undang Syariah disebutkan bahwa kegiatan usaha Bank Umum Syariah antara lain meliputi pembeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan prinsip syariah, antara lain, seperti akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah.
Produk jasa perbankan syariah berdasarkan akad kafalah secara teknis mendasarkan pada PBI No.9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Danan Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, sebagaimana yang telah diubah dengan PBI No.10/16/PBI/2008. Pasal 3 PBI dimaksud menyebutkan Pemenuhan Prinsip Pyariah sebagaimana dimaksud, antara lain dilakukan melalui kegiatan pelayanan jasa dengan mempergunakan antara lain Akad Kafalah, Hawalah, dan Sharf.[3]

C.    RUKUN DAN SYARAT KAFALAH
Rukun dan syarat kafalah ada dua, yaitu ijab dan qabul. Rukun Kafalah menurut jumhur ulama ada empat, yaitu :
1.     Pihak penjamin (al-kafil), yaitu pihak yang mempunyai kecakapan untuk mentashaarufkan hartanya;
2.     Obyek yang dijamin (al-makful bihi), yaitu berupa hak yang dapat diwakilkan kepada pihak lain, biasanya berupa hutang atau barang harta tertentu yang statusnya tertanggung;
3.     Pihak yang dijamin (al-makful ‘anhu), yaitu pihak yang mempunyai tanggungan harta yang harus dibayar, baik masih hidup maupun sudah mati;
4.     Akad ijab dan qabul (Sigat), yaitu ungkapan baik menggunakan lisan, tulisan maupun isyarat yang menunjukkan adanya kehendak para pihak untuk melaksanakan kafalah.
Menurut kalangan Syafi’iyah, rukun kafalah ada lima, yaitu empat serbagaimana disebutkan diatas, dan satu lagi yaitu adanya pihak yang berpiutang (Makful lahu).
Secara umum, syarat Kafalah adalah kafalah harus seizin pihak yang dijamin. Penjaminan yang dilakukan memang atas izin atau permintaan. Selain syarat ini, masing-masing rukun diatas mempunyai sarat tertentu. Syarat yang terkait dengan pihak penanggung adalah Pihak penanggung harus cakap hukum (berakal, balig dan tidak dalam paksaan) serta Pihak penjamin (kafil) harus mengetahui obyek yang dijaminnya. Selain itu, menurut kalangan Hanafiyah, pihak penjamin harus ada majlis akad agar mengetahui siapa dan apa yang dijaminnya.
Syarat yang terkait dengan pihak Ashil atau pihak yang berhutang yang dijamin (makful ‘anhu) adalah ia atau wakilnya (ahli warisnya) mempunyai kemampuan untuk menyerahkan obyek yang dijamin (makful bihi). Syarat lainnya adalah , pihak yang dijamin harus diketahui oleh pihak penjamin (kafil). Menurut kalangan Syafi’iyah, pihak yang ditanggung (makful ‘anhu) tidak harus cakap hukum, bahkan menanggung orang yang telah meninggal pun diperbolehkan.[4]
Syarat terkait pihak yang diberi jaminan makful lahu antara lain, jelas orangnya atau pihak yang jelas, harus cakap hukum dan harus ada pada saat akad. Pihak yang diberi jaminan harus berakal,tidak harus baligh tapi seandainya anak kecil, ia harus mumayiz. Pasal 293 ayat (2) KHES menyebutkan bahwa makful lahu /pihak pemberi pinjaman harus diketahui identitasnya.
Sementara syarat objek kafalah adalah beupa harus berupa hutang yang mengikat. Obyek yang dijamin (makful bihi) harus suatu yang harus dipenuhi, seperti hutang yang harus dipenuhi. Menurut Wahbah al-Zuhaili, syarat Makful bihi adalah :
1.     Makful bihi harus suatu yang menjadi tanggungan pihak ashil baik berupa hutang, barang, jiwa atau perbuatan;
2.     Makful bihi harus sesuatu yang mampu dipenuhioleh pihak kafil agar akad kafalah yang dilaksanakan benar-benar bermanfaat;
3.     Hutang yang ada harus benar-benar hutang yang statusnya mengikat dan sah.
Syarat terkait obyek yang ditanggung adalah hutang yang jelas dan mengikat para pihak. Hutang merupakan hutang hakiki yang memang wajib dibayar oleh pihak penghutang. KHES pasal 294 menyebutkan bahwa syarat terkait obyek jaminan makful bihi adalah sebagai berikut :
1.     Merupakan tanggungan peminjam baik berupa uang, benda, atau pekerjaan;
2.     Dapat dilaksanakan oleh penjamin ;
3.     Merupakan piutang mengikat/lazim yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan ;
4.     Jelas nilai, jumlah, dan spesifikasinya; dan
5.     Tidak diharamkan.

D.    JENIS-JENIS KAFALAH
Menurut Imam al-Sarakhsi, kafalah ada dua macam, yaitu kafalah bi al-nafsi (asuransi jiwa) dan kafalah bi al-mal (asuransi harta). Menurut Wahbah al-Zuaili, jenis-jenis kafalah antara lain adalah jaminan terhadap barang (al-kafalah bil ‘ain) jaminan terhadap jiwa (al-kafalah bil nafs). Sementara bentuk kafalah yang umum di dunia perdagangan antara lain adalah:
1.     Daman al-Darak, yaitu jaminan terhadap harga yang hak pihak penjual dan penjaminan terhadap barang yang dijual yang menjadi hak pihak pembeli.
2.     Penjaminan pasar, yaitu pihak penjamin menjamin hutang yang akan menjadi tanggungan pihak pedagang dan menjamin barang-barang berstatus barang tanggungan yang akan diserahterimakan kepadanya.
3.     Jaminan terhadap kekurangan akibat ketidakakuratan timbangan, takaran atau ukuran.
Sementara menurut Syafii Antonio, jenis-jenis kafalah adalah sebagai berikut:
1.     Kafalah bi nafs
Kafalah bi nafs merupakan akad memberikan jaminan atas (personal guarantee). Sebagai contoh, dalam praktek perbankan untuk bentuk kafalah bin-nafis adalah seorang nasabah yang mendapat pembiayaan dengan jaminan nama baik dan ketokohan seseorang atau pemuka masyarakat. Walaupun bank secara fisik tidak memegang barang apa pun, tetapi bank berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan pembayaran ketika nasabah yang dibiayai mengalami kesulitan.
1.     Kafalah bil-maal
Kafalah bil-maal merupakan jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang.[5]
2.     Kafalah bit-Taslim
Jenis kafalah ini biasa dilakukan untuk menjamin pengembalian atas barang yang disewa, pada waktu masa sewa berakhir.
Jenis pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan oleh bank untuk kepentingan nasabahnya dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan penyewaan (leasing company). Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposito/tabungan dan bank dapat membebankan uang jasa (fee) kepada nasabah itu.
3.     Kafalah al-Munjazah
Kafalah al-munjazah adalah jaminan mutlak yang tidak dibatasi oleh jangka waktu dan untuk kepentingan/tujuan tertentu.
Salah satu bentuk kafalah al-munjazah adalah pemberian jaminan dalam bentuk performance bonds “jaminan prestasi”, suatu hal yang lazim dikalangan perbankan dan hal ini sesuai dalam bentuk akad ini.[6]
4.     Kafalah al-Muallaqah
Bentuk jaminan ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-munjazah, baik oleh industri perbankan maupun asuransi.
Kafalah dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu kafalah dengan harta dan kafalah dengan jiwa. Sementara itu jenis kafalah ada tiga, yaitu:
a)     Kafalah Bit Taslim, yaitu jaminan pengembalian barang yang disewa;
b)     Kafalah Al-Munjazah, yaitu jaminan mutlak tanpa batas waktu, dan
c)     Kafalah Al-Muallaqah, yaitu jaminan yang dibatasi jangka waktu.

E.    ASURANSI
1.     Pengertian Asuransi
Menurut pasal 246 wetboek van koopbandel (kitab undang-undang perniagaan) bahwa asuransi adalah persetujuan dimana pihak yang meminjam berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin, karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.
Kata asuransi berasal dari bahasa Belanda assurantie (asuransi), yang dalam hukum belanda disebut dan verzekaring yang artinya pertanggungan. Dalam bahasa Inggris, asuransi disebut issurance bermakna asuransi juga jaminan, yang dalam bahasa Indonesia menjadi bahasa populer yang diapdosi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam padanan kata “pertanggungan.” Dalam bahasa Arab bermakna (ta’min).
Pengertian asuransi dalam konteks usaha perasuransian menurut syariah atau asuransi islam secara umum sebenernya tidak jauh beda dengan asuransi konvensional. Diantara keduanya, baik asuransi konvensional maupun asuransi syariah mempunyai persamaan yaitu perusahaan asuransi hanya berfungsi sebagai fasilitator dan intermediasi hubungan struktual antara peserta penyetor premi (penanggung) dengan peserta penerima pembayaran klaim (tertanggung).
Secara umum asuransi islam atau sering diistilahkan dengan takaful dapat digambarkan sebagai asuransi prinsip operasionalnya didasarkan sebagai syariat islam dengan mengacu kepada Al-Qur’an dan As-Sunah.[7]




F.     HUBUNGAN ANTARA ASURANSI DAN KAFALAH
Antara pengertian kafalah dan asuransi itu saling berhubungan satu sama lain, yakni sama-sama mengumpulkan tanggung jawab antara penjamin dan orang yang dijamin dalam masalah hak, berupa jiwa.[8]

























[1] Imam Mustofa, Fiqih Mua’malah Kontemporer ,(Metro: STAIN Metro Lampung, 2014), hlm.185-186.
[2] abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009), hlm.159.
 [3] Abdul Ghafur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009), Cet. 2, hlm. 160.
[4] Imam Mustofa, Fiqih Mua’malah Kontemporer ,(Metro: STAIN Metro Lampung, 2014), hlm.189.
[5] Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Lampung: STAIN Jurai Siwo Metro Lampung, 2014), Cet. 1, hlm. 190-191.
[6] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, (Depok: Gema Insani, 2015), Cet. 24, hlm. 125.
[7]https://momlovenurul.wordpress.com/2012/11/22/kafalah-dan-asuransi/, diakses pada tanggal 11 September 2017, pukul 13.15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengertian, rukun dan syarat , impementasi Wakalah dan Murabahah

A.     Wakalah 1.      Pengertian Wakalah Perwakilan (wakalah) adalah al-wakalah atau al –wikalah. Menurut bahasa artinya al hifdz,...