BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Diantara
masalah-masalah yang banyak melibatkan anggota masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari adalah masalah muamalah (Akad, transaksi) dalam berbagai bidang.
Karena masalah muamalah ini langsung melibatkan manusia dalam masyarakat, maka
pedoman dan tatanannya pun perlu dipelajari dan diketahui dengan baik, sehingga
tidak terjadi penyimpangan dan pelanggaran yang merusak kehidupan ekonomi dan
hubungan sesama manusia.
Jaminan
pada hakikatnya merupakan usaha untuk memberikan kenyamanan bagi semua orang
yang melakukan transaksi. Untuk era sekarang ini kafalah ialah asuransi. Jaminan atau asuransi telah disyariatkan oleh
islam ribuan tahun silam. Ternyata, Untuk masa sekarang ini kafalah (jaminan)
sangat penting, tidak pernah dilepaskan dalam bentuk transaksi seperti utang
apalagi transaksi bank seperti bank dan sebagainya. Dalam kafalah hal kafalah
ini bisa mendatangkan sikap tolong menolong, keamanan, kenyamanan dan kepastian
dalam bertransaksi. Supaya orang yang memiliki hak mendapatkan ketenangan
terhadap hutang yang dipinjamkan kepada orang lain atau benda yang dipinjam.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian kafalah?
2. Apa saja dasar hukum yang ada dalam
kafalah?
3. Apa saja rukun dan syarat kafalah?
4. Apa saja jenis-jenis kafalah?
5. Apakah pengertian asuransi?
6. Bagaimana hubungan antara kafalah dan
asuransi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN KAFALAH
Kafalah
mempunyai beberapa padanan kata atau sinonim, antara lain hamalah, damanah, dan za’amah. Kafalah secara etimologi menurut
Ibnu ‘Abidin adalah sama dengan al-Dammu yang berarti memelihara atau
menanggung.
Kalangan
Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikan Kafalah sebagai jaminan yang diberikan seseorang kepada orang lain
yang mempunyai tanggung jawab menunaikan hak membayar hutang dengan demikian
maka pembayaran hutang menjadi tanggungan pihak penjamin. Sementara dalam
kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) pasal 20 ayat 12, kafalah di
definisikan “Jaminan atau garansi yang diberikan oleh penjamin kepada pihak
ketiga/pemberi pinjaman untuk memenuhi kewajiban pihak kedua/peminjam”. [1]
Dalam
kontek Islam penaggungan hutang ini dikenal dengan istilah kafalah, yaitu orang yang diperbolehkan bertindak (berakal sehat)
berjanji menunaikan hak yang wajib ditunaikan orang lain atau berjanji
menghadirkan hak tersebut di pengadilan.
Dengan
demikian dalam perjanjian pertanggungan utang disyaratkan adanya kafiil, ashiil, makfullaahu dan makfulbihi.
Kafiil adalah orang yang wajib
melakukan penanggungan, sedangkan ashiil
adalah orang yang berhutang dan membutuhkan seorang penanggung. Disisi lain ada
makfullahu yaitu orang yang
memberikan hutang, yang tentu saja harus dikenal oleh kafil. Kemudian makfulfihi
adalah sesuatu yang dijadikan jaminan atau tanggungan, baik berupa jaminan
kebendaan ataupun jaminan perorangan.
Menurut
M. Syafii Antonio, al-kafalah
merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga
untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian
lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin
dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain.
Berdasarkan
pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian penanggungan adalah
perjanjian yang bersifat accesoir dari perjanjian utang-piutang sebagai
perjanjian pokok. Konsekuensi yuridis dari hal ini adalah bahwa keberadaannya
sangat tergantung dari perjanjian pokoknya.[2]
B. Landasan Hukum Kafalah
1. Landasan Syariah
a. Al-Qur’an
Kafalah
disyaratkan oleh Allah Swt. terbukti dengan firman-Nya:
“Ya'qub berkata: "Aku sekali-kali tidak
akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kamu, sebelum kamu memberikan kepadaku
janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku
kembali, kecuali jika kamu dikepung musuh". tatkala mereka memberikan
janji mereka, Maka Ya'qub berkata: "Allah adalah saksi terhadap apa yang
kita ucapkan (ini)". (QS. Yusuf:66)
“Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami
kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh
bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya". (QS.
Yusuf:72)
b. Al-Hadits
Dasar hukum kafalah yang kedua adalah
Al-Sunnah, dalam hal ini Rasulullah Saw. bersabda:
“Pinjaman hendaklah dikembalikan dan
yang menjamin hendaklah membayar”. (Riwayat
Abu Dawud)
“Bahwa Nabi Saw. pernah menjamin sepuluh
dinar dari seorang laki-laki yang oleh penagih ditetapkan untuk menagih sampai
sebulan, maka hutang sejumlah itu dibayar kepada penagih.”
(Riwayat Ibnu Majah)
“Tidak ada kafalah dalam had.”
(Riwayat Baihaqi)“Telah dihadapkan kepada Rasulullah saw. (mayat seorang
laki-laki untuk dishalatkan)… Rasulullah saw bertanya “Apakah dia mempunyai
warisan?” Para sahabat menjawab , “Tidak.” Rasulullah bertanya lagi, “Apakah
dia mempunyai utang?” Sahabat menjawab “Ya, sejumlah tiga dinar.” Rasulullah
pun menyuruh para sahabat untuk menshalatkannya (tetapi beliau sendiri tidak).
Abu Qatadah lalu berkata, “Saya menjamin utangnya, ya Rasulullah.” Maka
Rasulullah pun menshalatkan mayat tersebut.” (HR. Bukhari no. 2127, kitab
al-Hawalah)
2. Landasan Hukum Positif
Kafalah
sebagai salah satu produk perbankan syariah di bidang jasa telah mendapatkan
dasar hukum dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Dengan diundangkannya
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, kafalah
mendapatkan dasar hukum yang lebih kokoh. Dalam Pasal 19 Undang-Undang Syariah
disebutkan bahwa kegiatan usaha Bank Umum Syariah antara lain meliputi pembeli,
menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang
diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan prinsip syariah, antara
lain, seperti akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah,
kafalah, atau hawalah.
Produk
jasa perbankan syariah berdasarkan akad kafalah secara teknis
mendasarkan pada PBI No.9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam
Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Danan Serta Pelayanan Jasa Bank
Syariah, sebagaimana yang telah diubah dengan PBI No.10/16/PBI/2008. Pasal 3
PBI dimaksud menyebutkan Pemenuhan Prinsip Pyariah sebagaimana dimaksud, antara
lain dilakukan melalui kegiatan pelayanan jasa dengan mempergunakan antara lain
Akad Kafalah, Hawalah, dan Sharf.[3]
C. RUKUN DAN SYARAT KAFALAH
Rukun
dan syarat kafalah ada dua, yaitu ijab dan qabul. Rukun Kafalah menurut jumhur
ulama ada empat, yaitu :
1. Pihak penjamin (al-kafil), yaitu pihak yang mempunyai kecakapan untuk
mentashaarufkan hartanya;
2. Obyek yang dijamin (al-makful bihi), yaitu berupa hak yang dapat diwakilkan kepada
pihak lain, biasanya berupa hutang atau barang harta tertentu yang statusnya
tertanggung;
3. Pihak yang dijamin (al-makful ‘anhu), yaitu pihak yang mempunyai tanggungan harta yang
harus dibayar, baik masih hidup maupun sudah mati;
4. Akad ijab dan qabul (Sigat), yaitu ungkapan baik menggunakan
lisan, tulisan maupun isyarat yang menunjukkan adanya kehendak para pihak untuk
melaksanakan kafalah.
Menurut
kalangan Syafi’iyah, rukun kafalah ada
lima, yaitu empat serbagaimana disebutkan diatas, dan satu lagi yaitu adanya
pihak yang berpiutang (Makful lahu).
Secara
umum, syarat Kafalah adalah kafalah
harus seizin pihak yang dijamin. Penjaminan yang dilakukan memang atas izin
atau permintaan. Selain syarat ini, masing-masing rukun diatas mempunyai sarat
tertentu. Syarat yang terkait dengan pihak penanggung adalah Pihak penanggung
harus cakap hukum (berakal, balig dan tidak dalam paksaan) serta Pihak penjamin
(kafil) harus mengetahui obyek yang
dijaminnya. Selain itu, menurut kalangan Hanafiyah, pihak penjamin harus ada
majlis akad agar mengetahui siapa dan apa yang dijaminnya.
Syarat
yang terkait dengan pihak Ashil atau
pihak yang berhutang yang dijamin (makful
‘anhu) adalah ia atau wakilnya (ahli warisnya) mempunyai kemampuan untuk
menyerahkan obyek yang dijamin (makful
bihi). Syarat lainnya adalah , pihak yang dijamin harus diketahui oleh
pihak penjamin (kafil). Menurut
kalangan Syafi’iyah, pihak yang ditanggung (makful
‘anhu) tidak harus cakap hukum, bahkan menanggung orang yang telah
meninggal pun diperbolehkan.[4]
Syarat
terkait pihak yang diberi jaminan makful
lahu antara lain, jelas orangnya atau pihak yang jelas, harus cakap hukum
dan harus ada pada saat akad. Pihak yang diberi jaminan harus berakal,tidak
harus baligh tapi seandainya anak kecil, ia harus mumayiz. Pasal 293 ayat (2) KHES menyebutkan bahwa makful lahu /pihak pemberi pinjaman
harus diketahui identitasnya.
Sementara
syarat objek kafalah adalah beupa
harus berupa hutang yang mengikat. Obyek yang dijamin (makful bihi) harus suatu yang harus dipenuhi, seperti hutang yang
harus dipenuhi. Menurut Wahbah al-Zuhaili, syarat Makful bihi adalah :
1. Makful
bihi harus suatu yang menjadi tanggungan
pihak ashil baik berupa hutang,
barang, jiwa atau perbuatan;
2. Makful
bihi harus sesuatu yang mampu dipenuhioleh
pihak kafil agar akad kafalah yang
dilaksanakan benar-benar bermanfaat;
3. Hutang yang ada harus benar-benar hutang
yang statusnya mengikat dan sah.
Syarat
terkait obyek yang ditanggung adalah hutang yang jelas dan mengikat para pihak.
Hutang merupakan hutang hakiki yang memang wajib dibayar oleh pihak penghutang.
KHES pasal 294 menyebutkan bahwa syarat terkait obyek jaminan makful bihi adalah sebagai berikut :
1. Merupakan tanggungan peminjam baik
berupa uang, benda, atau pekerjaan;
2. Dapat dilaksanakan oleh penjamin ;
3. Merupakan piutang mengikat/lazim yang
tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan ;
4. Jelas nilai, jumlah, dan spesifikasinya;
dan
5. Tidak diharamkan.
D. JENIS-JENIS KAFALAH
Menurut Imam al-Sarakhsi, kafalah ada dua
macam, yaitu kafalah bi al-nafsi (asuransi jiwa) dan kafalah
bi al-mal (asuransi harta). Menurut Wahbah al-Zuaili, jenis-jenis kafalah
antara lain adalah jaminan terhadap barang (al-kafalah bil ‘ain) jaminan
terhadap jiwa (al-kafalah bil nafs). Sementara bentuk kafalah
yang umum di dunia perdagangan antara lain adalah:
1. Daman al-Darak,
yaitu jaminan terhadap harga yang hak pihak penjual dan penjaminan terhadap
barang yang dijual yang menjadi hak pihak pembeli.
2. Penjaminan pasar, yaitu pihak penjamin
menjamin hutang yang akan menjadi tanggungan pihak pedagang dan menjamin
barang-barang berstatus barang tanggungan yang akan diserahterimakan kepadanya.
3. Jaminan terhadap kekurangan akibat
ketidakakuratan timbangan, takaran atau ukuran.
Sementara
menurut Syafii Antonio, jenis-jenis kafalah adalah sebagai berikut:
1. Kafalah bi nafs
Kafalah
bi nafs merupakan akad memberikan jaminan atas
(personal guarantee). Sebagai contoh, dalam praktek perbankan untuk
bentuk kafalah bin-nafis adalah seorang nasabah yang mendapat pembiayaan
dengan jaminan nama baik dan ketokohan seseorang atau pemuka masyarakat.
Walaupun bank secara fisik tidak memegang barang apa pun, tetapi bank berharap
tokoh tersebut dapat mengusahakan pembayaran ketika nasabah yang dibiayai
mengalami kesulitan.
1. Kafalah bil-maal
Kafalah
bil-maal merupakan jaminan pembayaran barang
atau pelunasan utang.[5]
2. Kafalah bit-Taslim
Jenis
kafalah ini biasa dilakukan untuk menjamin pengembalian atas barang yang
disewa, pada waktu masa sewa berakhir.
Jenis
pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan oleh bank untuk kepentingan nasabahnya
dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan penyewaan (leasing company).
Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposito/tabungan dan bank dapat
membebankan uang jasa (fee) kepada nasabah itu.
3. Kafalah al-Munjazah
Kafalah
al-munjazah adalah jaminan mutlak yang tidak
dibatasi oleh jangka waktu dan untuk kepentingan/tujuan tertentu.
Salah
satu bentuk kafalah al-munjazah adalah pemberian jaminan dalam bentuk performance
bonds “jaminan prestasi”, suatu hal yang lazim dikalangan perbankan dan hal
ini sesuai dalam bentuk akad ini.[6]
4. Kafalah al-Muallaqah
Bentuk
jaminan ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-munjazah, baik oleh
industri perbankan maupun asuransi.
Kafalah
dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu kafalah dengan harta dan kafalah
dengan jiwa. Sementara itu jenis kafalah ada tiga, yaitu:
a) Kafalah Bit Taslim,
yaitu jaminan pengembalian barang yang disewa;
b) Kafalah Al-Munjazah,
yaitu jaminan mutlak tanpa batas waktu, dan
c) Kafalah Al-Muallaqah,
yaitu jaminan yang dibatasi jangka waktu.
E. ASURANSI
1. Pengertian Asuransi
Menurut pasal 246 wetboek van koopbandel (kitab
undang-undang perniagaan) bahwa asuransi adalah persetujuan dimana pihak yang
meminjam berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi
sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin,
karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.
Kata asuransi berasal dari bahasa Belanda assurantie
(asuransi), yang dalam hukum belanda disebut dan verzekaring yang artinya
pertanggungan. Dalam bahasa Inggris, asuransi disebut issurance bermakna
asuransi juga jaminan, yang dalam bahasa Indonesia menjadi bahasa populer yang
diapdosi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam padanan kata “pertanggungan.”
Dalam bahasa Arab bermakna (ta’min).
Pengertian asuransi dalam konteks usaha
perasuransian menurut syariah atau asuransi islam secara umum sebenernya tidak
jauh beda dengan asuransi konvensional. Diantara keduanya, baik asuransi
konvensional maupun asuransi syariah mempunyai persamaan yaitu perusahaan
asuransi hanya berfungsi sebagai fasilitator dan intermediasi hubungan
struktual antara peserta penyetor premi (penanggung) dengan peserta penerima
pembayaran klaim (tertanggung).
Secara umum asuransi islam atau sering diistilahkan
dengan takaful dapat digambarkan sebagai asuransi prinsip operasionalnya
didasarkan sebagai syariat islam dengan mengacu kepada Al-Qur’an dan As-Sunah.[7]
F. HUBUNGAN ANTARA ASURANSI DAN KAFALAH
Antara
pengertian kafalah dan asuransi itu saling berhubungan satu sama lain, yakni
sama-sama mengumpulkan tanggung jawab antara penjamin dan orang yang dijamin
dalam masalah hak, berupa jiwa.[8]
[1] Imam
Mustofa, Fiqih Mua’malah Kontemporer ,(Metro:
STAIN Metro Lampung, 2014), hlm.185-186.
[2] abdul
Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di
Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009), hlm.159.
[4] Imam
Mustofa, Fiqih Mua’malah Kontemporer ,(Metro:
STAIN Metro Lampung, 2014), hlm.189.
[5] Imam
Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Lampung: STAIN Jurai Siwo Metro
Lampung, 2014), Cet. 1, hlm. 190-191.
[6] Muhammad
Syafi’I Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, (Depok: Gema
Insani, 2015), Cet. 24, hlm. 125.
[7]https://momlovenurul.wordpress.com/2012/11/22/kafalah-dan-asuransi/,
diakses pada tanggal 11 September 2017, pukul 13.15.
[8]http://fadlyknight.blogspot.co.id/2011/10/kafalah-dan-hubungannya-dengan-asuransi.html,
diakses pada tanggal 11 September 2017, pukul 13.00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar